REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: A Ilyas Ismail
Pada suatu hari sahabat Abu Darda melihat sekelompok orang ramai-ramai sedang memukuli dan memaki-maki seseorang. Abu Darda kaget seraya bertanya, ''Kenapa dengan orang itu?'' Jawab mereka, ''Ia penjahat dan pendosa besar, Tuan.'' Lalu, Abu Darda bertanya lagi, ''Kalau ia jatuh ke dalam sumur, apa yang akan kalian lakukan?'' Jawab mereka, ''Kami akan mengeluarkannya tuan.''
Mendengar jawaban mereka itu, Abu Darda berpesan. Katanya, ''Kalau begitu, jangan siksa dia, tapi berikan kepadanya pelajaran, nasihat, dan pencerahan.'' Rupanya, mereka mengikuti pesan Abu Darda. Mereka semua berhenti memukuli dan memaki sang penjahat dan pendosa itu. Yang terakhir inipun menangis tersedu-sedu, menyatakan tobat dan menyesali dosa-dosa yang pernah dilakukannya.
Dari peristiwa ini, kita mendapat pelajaran berharga tentang metode dan pendekatan dakwah (manhaj al-da`wah). Paling tidak, ada tiga hal pokok yang bisa dipahami dari manhaj al-da`wah Abu Darda. Pertama, dakwah hendaknya dilakukan dengan kearifan (bi al-hikmah).
Kata hikmah memiliki makna dasar al-man`u, yaitu 'tercegah dari keburukan'. Hikmah juga bermakna pemikiran mendalam, tepat, benar, atau mencapai kebenaran melalui ilmu dan amal. Menurut Sayyid Quthub, dakwah dengan hikmah bermakna dakwah dengan tingkat ketepatan yang tinggi dilihat dari segi materi, metode, dan waktu yang dipergunakan, sehingga kemungkinan dan peluang keberhasilannya menjadi besar.
Kedua, mencegah kemungkaran tidak boleh dengan kemungkaran pula, tetapi harus dengan kebaikan, melalui nasihat yang baik dan melalui dialog yang terbaik. Hal ini, karena Islam mengajarkan agar keburukan tak dilawan dengan keburukan serupa, tapi dengah kebaikan.
Firman-Nya, ''Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara Dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia (QS Fushshilat [41]: 34).
Ketiga, para dai selain memerhatikan proses harus pula peduli pada pengaruh dakwah. Dalam realitas dakwah, aspek yang satu ini sering diabaikan. Banyak orang, kalau sudah naik mimbar, memberi orasi. Mereka merasa telah selesai melaksanakan tugas dakwah, tanpa perlu tahu apakah dakwah yang disampaikan didengar dan diterima oleh khalayak atau tidak?
Dakwah dinilai efektif manakala khalayak memahami pesan dakwah yang disampaikan, lalu daya tarik (rasa cinta), dan puncaknya perubahan sikap dan prilaku mereka seperti dakwah sahabat Abu Darda dalam kisah di atas.