REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dr Muhammad Ratib an-Nablusi dalam karyanya yang berjudul Adab al-Majlis fi Alquran wa as-Sunnah, menjadi salah satu bukti tentang keluhuran ajaran Islam. Ayat tersebut berisikan tentang etika atau tata cara menghadiri sebuah majelis ilmu atau pertemuan yang serupa.
Dalam buku tersebut, Dr Ratib menguraikan beberapa adab yang mesti diperhatikan dalam menghadiri sebuah majelis. Adab tersebut disarikan dari Alquran dan hadis. Dari sumber Alquran, ayat di atas cukup memberikan gambaran yang jelas perihal bagaimanakah Rasulullah SAW mengajarkan tata cara hadir di sebuah majelis.
Ayat tersebut turun agar para sahabat meletakkan norma dalam majelis. Sebelum ayat ini diturunkan, para sahabat berlomba-lomba untuk menjadi yang terdekat dengan posisi duduk Rasul. Sejumlah sahabat yang datang terlambat memaksa menggeser-geser, bahkan sebagiannya meminta yang lain untuk segera beranjak. Maka, hal semacam ini tidak diperbolehkan.
Jamaah yang datang lebih awal maka ia berhak atas tempat yang telah didudukinya. Tidak patut untuk menggusur apalagi menyuruh orang berdiri. Ini mengajarkan bahwa sejatinya manusia itu sederajat di sisi Allah SWT. Hendaknya, tidak saling membanggakan status dengan seenaknya menyuruh orang lain pindah.
Namun demikian, ketentuan tersebut bukan berarti harga mutlak. Artinya, bila seseorang dengan sukarela memberikan tempat duduknya, ini akan sangat mulia.
Sikap lapang dada itu pernah ditunjukkan Ali bin Abi Thalib. Suami Fatimah tersebut lebih dulu duduk di samping Rasul. Saat melihat Abu Bakar datang, menantu Rasulullah ini bergegas berdiri dan mempersilakan Abu Bakar menempati tempat duduk Ali.
Sikap yang diteladankan Ali itu justru menunjukkan kedewasaan dan budi pekerti yang luhur. Rasulullah pun berkomentar melihat aksi dua sahabat kesayangannya itu. “Tidak bisa mengatuhi keutamaan, kecuali orang yang istimewa pula,” titah Rasul.
Ratib juga menegaskan, tak jarang sebuah majelis dihentikan untuk menyambut tokoh atau tamu penting yang datang. Hal ini tidak perlu dilakukan. Karena sesuai dengan kaidah, tak ada kata itsar dalam kamus kebaikan. Tetap saja majelis berlangsung, persilakan dan percayakan orang lain untuk penyambutan.
Dalam ayat tersebut juga, Ratib menambahkan, dijelaskan soal etika bubar dari majelis. Yakni, bila majelis selesai, jangan memaksakan diri untuk tetap “menahan” tokoh yang bersangkutan hingga berlarut-larut. Tindakan tersebut bisa memberikan kesan tak nyaman. Ini pula yang ditekan oleh Rasul, seperti yang tertuang dalam ayat QS al-Mujadilah [58]: 11, “Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah.”
Syekh Ratib menegaskan, jangan sesekali membuat daftar posisi tempat duduk berdasarkan status sosial atau jabatan. Kehormatan seseorang, menurut Islam, bukan diukur atas jabatan, harta, atau status social, melainkan dilihat dari kadar keimanan, ilmu, dan konsistensi amal.
Ini pernah dicontohkan Umar bin Khatab. Ayahanda Hafshah tersebut pernah mendahulukan Ibnu Abbas dari sahabat yang lain. Padahal, usia Ibn Abbas kala itu masih belia.
Tak elak, sikap Sang Khalifah menuai kecemburuan. Usut punya usut, keputusan Umar itu dilandasi atas dasar keluasan dan kualitas pemahaman ilmu syariah dari Ibnu Abbas. Penilaian itu lantaran sahabat yang berjuluk tarjaman Alquran itu memberikan penafsiran unik atas surah an-Nashr.
Bahkan, Umar pernah memilih kalangan budak sebagai pemimpin di sejumlah wilayah yang menuai kontroversi saat itu. Lalu, tercetuslah pernyataan Umar yang tersohor, “Allah SWT meninggikan dan merendahkan sebuah kaum lewat (takaran) pemahaman Alquran.”
Ratib menambahkan, sejumlah tata krama dalam sebuah majelis yang disarikan dari sunah Rasulullah, antara lain, tidak menyenderkan kaki di atas kaki lainnya, menghindari kantuk dengan bergegas keluar, lalu berwudhu, dan tak kalah penting, ialah menutup sebuah pertemuan dengan doa penutup majelis. “Mahasuci Engkau Ya Allah dan dengan segala pujian-Mu, aku bersaksi tiada tuhan selain Engkau, aku meminta ampun dan bertobat kepada-Mu.”