Sabtu 29 Jun 2019 04:04 WIB

Tak Boleh Berlebihan

kita sering kali berlebihan terutama dalam mencintai dan membenci.

Takwa (ilustrasi).
Foto: alifmusic.net
Takwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasan Basri Tanjung

Suatu ketika, tiga orang sahabat mendatangi rumah salah satu istri Nabi SAW. Mereka ingin mengetahui seperti apa ibadah Beliau. Setelah mendapat penjelasan, mereka merasa tak berarti apa-apa dibandingkan ibadah Nabi SAW, padahal Beliau telah diampuni dosanya yang lalu dan yang akan datang. "Kalau begitu, aku akan shalat malam terus selamanya," ujar salah seorang. "Aku pun akan puasa terus dan tak berbuka," jawab yang lain. "Aku pun akan menjauhi perempuan dan tak akan menikah selamanya," sambut seorang lagi.

Bertepatan Rasulullah SAW datang dan mendengar percakapan itu. "Kalian tadi yang berkata begini dan begitu? Demi Allah, bukankah aku orang yang paling takut dan takwa kepada Allah, tetapi aku tetap puasa dan berbuka, shalat dan tidur serta menikah. Siapa yang benci sunahku, berarti ia bukan dari umatku." (HR Muttafaq 'alaih).

Sungguh, Islam mengajarkan kita untuk bersikap dan bertindak pertengahan (washathiyah) dan melarang berlebihan atau israf (QS 6:141, 7:31). Nabi SAW berpesan, sebaik-baik urusan adalah pertengahan (HR ad-Dailami).

Misalnya, dermawan adalah sikap antara boros dan kikir. Berani adalah sikap antara nekat dan pengecut. Selain dalam ibadah, berpakaian, makan, minum, dan sedekah pun tidak boleh berlebihan. Hakikatnya, setiap yang berlebihan (terlalu) akan mendatangkan keburukan (QS 7:31, 25:67).

Kita pun sering kali berlebihan mencintai anak, istri, harta dan perhiasan melebihi cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya (QS.3:14,9:24).

Begitu pun membenci seseorang, seperti pemimpin yang zalim, pelaku LGBT, prostitusi, narkoba, koruptor, penebar fitnah (hoax) dan pendosa lainnya. Hatta, kebencian itu menutup mata kita untuk melihat sisi kebaikannya dan akhirnya tak mampu lagi bersikap adil (QS 5:8).

Sejatinya, yang dilarang itu berlebihan karena dibalut hawa nafsu yang membuat telinga, mata, dan hati kita tak berfungsi (QS.45:23). Bukan tak boleh mengidolakan atau membenci, melainkan sewajarnya saja. Sebab, sebaik apa pun seseorang tetap ada buruknya. Dan, seburuk apa pun seseorang pasti ada baiknya. "Cintailah kekasihmu sewajarnya karena boleh jadi suatu saat dia akan menjadi musuhmu. Dan, bencilah musuhmu sewajarnya, sebab boleh jadi suatu saat dia akan menjadi kekasihmu" (HR at- Turmudzi).

Kita bangun kerangka berpikir positif, tak seorang pun yang baik sepenuhnya, dan tak seorang juga yang buruk seluruhnya. "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui" (QS 2:216, 4:19).

Alhamdulillah, sengketa Pilpres 2019 telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Tentu saja, tidak ada keputusan yang bisa memuaskan semua pihak. Bagi yang kalah, boleh kecewa asal jangan berlebihan (sabar).

Bagi yang menang pun boleh gembira, tapi sewajarnya saja (syukur). Mari kita berlapang dada, insya Allah akan selalu ada hikmah dan maslahat di balik setiap kejadian. Saatnya islah (berdamai), saling memaafkan dan bergandeng tangan. Kita rajut kembali keharmonisan sosial yang sempat retak dan terkoyak.

Sejujurnya, kita sering kali berlebihan terutama dalam mencintai dan membenci. Kita mohon ampun dan berdoa, "Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir aamiin." (QS 3:147). Allahu a'lam bish-shawab. ¦ 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement