REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama (Kemenag) bekerjasama dengan Bank Dunia untuk mendongkrak kualitas madrasah swasta dan negeri melalui dana pinjaman senilai Rp 3,7 triliun. Pengamat Pendidikan Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jejen Musfah tidak setuju dengan kerjasama tersebut. Karena menurutnya masih ada dana lain yang bisa digunakan selain pinjaman dari Bang Dunia.
Jejen menjelaskan, Indonesia masih memiliki beberapa peluang untuk mendapatkan dana yang bisa dipergunakan untuk mendongkrak kualitas madrasah. Menurutnya, Indonesia punya dana abadi umat (DAU) yang bersumber dari jamaah haji.
Terkait DAU bisa digunakan untuk mengembangkan kualitas pendidikan madrasah atau tidak. Dia menyampaikan, masih perlu banyak diskusi dengan para ahli fikih, umat Islam dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
"Apakah dana haji (DAU) bisa diperuntukkan untuk di luar urusan haji, oleh karena itu MUI dan pakar-pakar fikih perlu dilibatkan supaya tidak menimbulkan gejolak dari umat," kata Jejen kepada Republika.co.id, Selasa (25/6).
Jejen juga menyampaikan Indonesia punya dana abadi pendidikan di Kementerian Keuangan. Menurutnya, dana tersebut cukup. Selain itu, Indonesia juga punya dana zakat, infak dan sedekah (ZIS) yang selama ini sebagian dipakai untuk beasiswa.
Dana yang dikorupsi oleh para koruptor yang sudah terbukti dan dipenjara bisa digunakan untuk kepentingan pendidikan di Indonesia. Pertanyaannya, dana hasil korupsi tersebut kemana dan untuk apa.
"Saya melihat lebih baik memikirkan solusi bagaimana memanfaatkan dana yang sudah ada di Indonesia ketimbang pinjaman (ke Bank Dunia), meskipun pinjaman Bank Dunia bukan yang pertama, UIN-UIN pembangunannya juga dari pinjaman Bank Dunia," jelasnya.
Jejen mengatakan, sampai sekarang belum melihat keterlibatan atau peran dunia usaha dan industri terhadap pendidikan madrasah. Mereka sesungguhnya bisa berkontribusi untuk pendidikan madrasah kalau ada kebijakan dan aturan yang dibuat pemerintah.
Ia mencontohkan, di daerah Balaraja, Tangerang, ada beberapa perusahaan multi-nasional dan perusahaan asing. Akan tetapi, keberadaan perusahaan tersebut tidak berdampak pada kualitas madrasah di sekitarnya.
"Padahal seharusnya keberadaan mereka, mereka punya Corporate Social Responsibility (CSR) seharusnya bisa (disalurkan) ke madrasah, ke dunia pendidikan," ujarnya.
Jejen berpandangan, pemerintah perlu membuat regulasi yang memaksa dunia usaha industri untuk punya kepedulian terhadap madrasah atau dunia pendidikan di lingkungan mereka. Dana CSR yang ada di Indonesia sangat besar jika bisa dimanfaatkan dengan baik dan benar.