Kamis 20 Jun 2019 13:04 WIB

Keutamaan Autokritik

Autokritik lebih memiliki keutamaan dibandingkan dengan cari-cari kambing hitam

Autokritik menjadikan diri kita peka dan ingin menjadi lebih baik(ilustrasi).
Foto: alifmusic.net
Autokritik menjadikan diri kita peka dan ingin menjadi lebih baik(ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Hatta

Bila ditinjau dari sisi dosa dan kesalahan, ada perbedaan yang mendasar antara sikap manusia dan setan.

Baca Juga

Lihatlah misalnya kisah Nabi Adam dan setan. Ketika setan melakukan kesalahan--yakni keengganannya untuk mematuhi perintah Allah: bersujud kepada Adam a.s.--ia mengambil sikap cuci tangan dan mencari kambing hitam.

Di sini setan justru menjadikan Allah sebagai kambing hitam kesalahannya. ''Bimaa aghwaitani (karena Engkau yang telah menyesatkan aku)'', demikian setan menuduh Allah. Setan merasa tidak bersalah, merasa suci, dan sempurna dari kesalahan.

Sementara itu, Adam a.s., ketika melakukan sebuah kesalahan--misalnya ketika memakan buah kuldi yang dilarang Allah--segera melakukan autokritik. Dirinyalah yang pertama kali menjadi tertuduh.

''Robbanaa zolamna anfusanaa (Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri),'' kata Adam dengan nada menyesal.

Walaupun ia waktu itu sadar bahwa kesalahan itu tak lepas dari pengaruh eksternal, yaitu godaan setan. Sikap ini mendorong Adam a.s. dan Hawa istrinya bertindak positif, yakni memohon ampunan dari Allah: ''.... Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, maka jika Engkau tak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi'' (QS 7:23).

 

***

Ada dua keuntungan dari sikap Adam dibandingkan dengan sikap setan. Pertama, protecting potentiality. Sikap autokritik menjaga potensi-potensi positif yang ada -- seperti bertobat, mengoreksi, dan memperbaiki kesalahan -- agar terus dapat difungsikan.

Kedua, steering potentiality, yaitu mengarahkan potensi-potensi yang ada pada tujuan-tujuan positif dan konstruktif. Secara psikologis harus diakui bahwa tak ada kesalahan manusia kecuali ada jalinan antara pengaruh faktor internal dan eksternal.

Walaupun persentasi peran kedua faktor itu tentunya tidak sama pada tiap-tiap kesalahan. Namun, seorang Muslim harus melihat faktor internal terlebih dahulu, saat ia melakukan kesalahan.

Dalam terminologi Alquran, kesalahan, pelanggaran atau dosa diungkap sebagai zholmu an nafsi (penzaliman terhadap diri sendiri). Karena dirinya adalah yang pertama kali dirugikan oleh dosa dan kesalahannya itu.

''... Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim terhadap diri mereka sendiri,'' (QS 30:9). Allah juga berfirman, ''Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain ...'' (QS 35:18).

Autokritik adalah sebuah sikap yang sangat Islami dan manusiawi, karena fitrah manusia tidak ma'sum. Sayangnya, kita seringkali cenderung lebih memilih sikap setan. Kita sering menuduh orang lain sebagai kambing hitam.

Padahal sikap itu sangat merugikan kita sendiri. Itu karena pertama, kita telah menutup kesempatan untuk bertaubat karena kita merasa tidak bersalah. Kedua, kita kehilangan moment untuk memperbaiki kesalahan.

Ketiga kita telah berbuat dosa karena menuduh atau memfitnah orang lain. Keempat, kita hilangkan potensi orang lain, yang sebenarnya mungkin bisa membantu kita dalam rekonstruksi kesalahan itu.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement