Selasa 11 Jun 2019 20:24 WIB

Wakil Rektor UMM Berkisah Lebaran di Melbourne dan Perth

Lebaran di Melbourne dan Pert tak seramai lebaran di Tanah Air.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Nashih Nashrullah
Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Profesor Syamsul Arifin (kedua dari kanan) saat berada di Australia, beberapa waktu lalu.
Foto: Dok Pribadi
Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Profesor Syamsul Arifin (kedua dari kanan) saat berada di Australia, beberapa waktu lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Lebaran di negeri orang memang mempunyai cerita tersendiri. Banyak hal yang kerap tak dijumpai selama berlebaran di luar negeri. Salah satunya pengalaman yang dialami Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Syamsul Arifin.

Syamsul menceritakan bagaimana suasana Idul Fitri di negeri minoritas Muslim, Australia. Atau, lebih tepatnya di wilayah Melbourne dan Perth.  

Baca Juga

Berkunjung ke Australia dalam suasana Idul Fitri lalu bukan pertama kalinya dirasakan Syamsul. Dia pernah merasakan kondisi yang sama setahun lalu di Melbourne. 

"Hanya bedanya dengan kunjungan ke Perth kali ini, saya tiba di Melbourne dua hari setelah Idul Fitri di Tanah Air. Sebelum ke Melbourne, saya masih sempat shalat Id dan silaturrahmi," cerita Syamsul kepada Republika.co.id, Selasa (11/5).  

Saat berada di Melbourne, Syamsul mengaku, tidak menjumpai tanda sedikit pun kalau dua hari lalu lebaran. Kondisi ini jelas sangat berbeda dengan nuansa lebaran di Indonesia. Tidak saja dua hari pasca-lebaran, bahkan sebulan kemudian masih dijumpai pagelaran halal bi halal di berbagai tempat. 

Di Perth pun, Syamsul tidak menemukan tanda-tanda serupa. “Di sini tidak bakalan ada takbiran, apalagi takbir keliling dengan menaiki truk," seloroh Syamsul kepada anak dan istrinya kala itu.  

Tujuan kunjungan Syamsul dan keluarganya ke Australia di akhir Ramadhan maupun Idul Fitri sebenarnya bukan untuk melancong. Perjalanan ke Melbourne maupun Perth sejatinya murni perjalanan akademik. Syamsul telah menerima hibah riset dari Kemenristek Dikti dalam skim Kerja Sama Luar Negeri (KLN) multi-tahun atau tahun jamak yang dimulai sejak 2018.    

Melakukan riset hingga ke negara lain, Syamsul memastikan, itu tidak bisa lakukan pada hari-hari kerja efektif. Keputusan tersebut terlalu berisiko karena itu berarti harus meninggalkan kegiatan kampus. 

"Karena pernah sehari saja tidak di ruang kerja, berkas menumpuk, belum lagi bila ada persoalan yang harus diselesaikan secara cepat. Maka memilih liburan panjang, //long holiday//, karena datangnya Idul Fitri adalah pilihan yang tepat. Namanya saja liburan, terserah mau digunakan untuk kegiatan apa saja yang sifatnya privat," tambah Sosiolog Agama UMM ini.  

Menilik kondisi di Perth dan kota lainnya di Australia, Syamsul mencoba menceritakan bagaimana durasi liburan Idul Fitri di negeri tersebut. Muslim setempat jelas mustahil bisa memeroleh liburan panjang di hari raya ini. Pasalnya, Idul Fitri tidak termasuk dalam agenda libur nasional di Australia.   

Saat ini, Syamsul mengungkapkan, populasi Muslim di Australia tidak sebanyak di Tanah Air. Meski termasuk benua, jumlah penduduknya belum bisa melampaui masyarakat Jawa Timur. Jumlah penduduk Australia diperkirakan sebanyak 25 juta sedangkan populasi Muslim belum mencapai 500 ribu.    

Pada saat 1 Syawal, dia melanjutkan, sekolah, kampus, dan tempat kerja di Australia tidak libur. Umat Muslim setempat sebenarnya bisa saja mengajukan liburan sehari. Namun hal ini terkendala dengan kepastian 1 Syawal pada kalender Masehi.   

"Ketidakpastian ini dihadapi oleh beberapa  Muslim dari Indonesia yang perlu menunggu kepastian dari komunitas Muslim Indonesia, sementara komunitas ini masih menunggu sidang itsbat di Tanah Air," jelas Syamsul.

Selain itu, terdapat masalah lain akibat dari ketidakpastian jadwal Idul Fitri. Masalah tersebut, yakni soal tempat shalat. Di Tanah Air, perihal ini jelas tidak termasuk dalam masalah utama, kecuali waktu pelaksanaan.   

Menjadi Muslim Minoritas, Syamsul mengaku akan selalu ada minusnya. Kondisi ini pun serupa dengan dialami kaum mayoritas di manapun berada. "Tetapi dari kunjungan beberapa kali ke Australia, saya belajar banyak kepada mereka. Di tengah keterbatasan sebagai minoritas, mereka bermental mayoritas. Apakah mungkin karena juga pemerintah Australia menjaga jarak dengan agama sebagai wilayah privat? Masih perlu dikaji lagi," katanya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement