REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang nenek berjalan perlahan ke arah meja petugas piket Panti Sosial Tresna Werdha (PTSW) Budi Mulia 3, Jakarta Selatan. Dengan suara lirih, ia hendak meminta bantuan. "Boleh minta tolong telepon?" ucapnya.
Kedua tangannya memegang secarik kertas. Di sana tertulis yang ia percaya sebagai nomor telepon seorang famili nun jauh di sana. "Ini nomor anak saya," katanya.
Petugas yang ada menyambut kertas itu, lalu mengambil telepon seluler dari kantongnya. Tiga kali dia mencoba menelepon. Gayung tak bersambut. Usut punya usut, nomor yang dihubungi ternyata tak terdaftar operator.
Petugas itu menyimpulkan, yang baru saja dihubungi mungkin sudah mengganti nomor telepon. Tidak berubah sedikit pun raut wajah sang nenek. Masih pias. Ia kemudian dituntun kembali ke dalam ruangan yang menjadi kamarnya sehari-hari.
***
Selang beberapa saat kemudian, seorang kakek datang dengan tas kain berisi beberapa pakaian dan sebotol air mineral. Ia memperkenalkan diri sebagai Pak Mahmub. Usianya sudah 76 tahun.
"Mohon maaf lahir dan batin" adalah ucapannya kepada setiap orang yang ditemuinya. Saat berbincang dengan Republika.co.id, kakek ini mengaku sedang menunggu keluarganya yang kabarnya akan datang menjenguk. "Biasanya datang, ada yang dari Kebayoran Lama," kata dia.
Mahmub bercerita sedikit tentang masa lalunya. Ia lahir di Jakarta. Orangtuanya berasal dari Yogyakarta. Suasana Ibu Kota puluhan tahun silam terbilang sepi. Bahkan, saat itu dia bisa berkebun di seputaran Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ia menanam pisang, jambu, dan buah-buahan lain. Hasilnya begitu dipetik langsung dijual ke pasar.
Meskipun sudah sepuh, daya ingatnya masih tajam. Mahmub mengenang persis beberapa peristiwa bersejarah. Misalnya, Gerakan 30 September. Saat itu, dirinya masih muda, tetapi lantaran sibuk sehari-hari berkebun, dia sama sekali tidak tertarik mengurusi hal-hal politis.
Sementara mengobrol dengan Republika.co.id, waktu terus berjalan. Sang anak yang dinanti-nanti belum juga datang. Ekspresi riang dari wajah Pak Mahmub lambat laun pudar. Ia sesekali tampak melamun. Sejurus kemudian, seorang petugas panti memintanya untuk kembali masuk ke dalam kamar.
***
Dalam momen Lebaran tahun ini, Elizabeth bertugas sebagai petugas piket. Pekerjaannya semacam koordinator harian di Panti Sosial Tresna Werdha (PTSW) Budi Mulia 3. Saat ditemui di ruang lobi panti, ia mengungkapkan kepada Republika.co.id, pelbagai kegiatan khas Lebaran sudah dilaksanakan sejak pagi ini. Umpamanya, shalat Id, bermaaf-maafan, dan makan ketupat bersama seluruh penghuni panti.
Menjelang siang ini, para penghuni panti biasanya memilih tidur siang atau bercengkrama satu sama lain. Pihaknya tidak mengizinkan Republika.co.id masuk ke dalam panti. "Mereka sedang istirahat, karena tidak ada yang mendampingi jadi tidak bisa ditemui di kamar," ucapnya.
Selain Elizabeth, ada petugas lain yang tidak ingin disebut namanya. Dia pun sedang berjaga piket.
Kepada Republika.co.id, petugas itu mengaku prihatin dengan kondisi penghuni panti. Meski fasilitas di sini cukup memadai, ia merasa para lanjut usia (lansia) yang menghuni di sini masih perlu kasih sayang keluarga. Menghabiskan masa tua tanpa kehadiran sanak famili bukanlah sesuatu yang diinginkan siapapun.
Terlebih lagi, banyak lansia yang ditampung di panti ini mengidap pikun, sehingga memerlukan perhatian khusus. Selain itu, mayoritas dari mereka berasal dari kelas menengah ke bawah.
"Sekitar 90 persen yang ditampung di sini asalnya dari jalanan. Ada yang tinggal di gerobak, ada yang tinggal di depan toko, macam-macam," ungkapnya.
Sekitar 10 persen sisanya, lanjut dia, merupakan lansia yang diserahkan pihak keluarga. Ada pula yang datang sendiri ke panti untuk ditampung karena tidak mampu secara ekonomi.
Jumlah lansia yang ditampung pun semakin bertambah. Saat ini, sekitar 300 orang berada di dalam panti yang berukuran kira-kira seluas dua lapangan tenis. "Daya tampungnya paling cuma 200 orang," ucap dia.
Mahmub (76 tahun) sedang menunggu anaknya yang akan menjenguk di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 3, Jakarta Selatan, Rabu (5/6).
Ya, panti jompo sebagus apa pun tak akan cukup menggantikan hangatnya berkumpul bersama keluarga. Tawa ceria anak-cucu lebih berharga ketimbang sepi.
Pohon beringin besar di halaman depan panti ini tampak rindang. Semilir angin mengalir sepoi-sepoi. Beberapa jam di sini tidak terasa lama, tetapi juga sepi.
Hanya ada suara dedaunan yang dipermainkan angin. Tidak ada gema takbir seperti layaknya semarak Idul Fitri.