REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mulyanto
Di puncak ibadah puasa dan lengkapnya bilangan Ramadhan, Allah SWT memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk mengagungkan asma-Nya. Bertakbir atas petunjuk yang diberikan-Nya serta mensyukuri atas segala nikmat dari-Nya.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengartikan "wa li tukabbiru Allaha ala maa hadaa kum" (QS. al-Baqarah: 185) dengan 'mengagungkan Allah atas hidayah dan tuntunan yang diajarkan lewat Rasul kepada manusia.'
Disunnahkan bertakbir ketika Idul Fitri untuk merayakan hari lulusnya umat Islam dari kewajiban puasa Ramadhan. Secara sosiologis, ibadah ini melembaga dalam bentuk takbiran.
Dengan rasa suka kaum muslimin bertakbir dengan pengeras suara, misalnya. Takbir dalam Islam dapat dipandang sebagai ruh ibadah. Dalam shalat, di setiap perubahan gerak diawali dengan takbir. Ketika shalat jamaah, takbir adalah komando agar makmum segera mengikuti gerakan imam. Paling tidak, 85 kali sehari kaum Muslimin bertakbir mengagungkan asma Allah.
Takbir adalah suatu deklarasi ketundukan ego manusia pada kekuatan Mahabesar yang ada di luar diri mereka. Takbir adalah pengakuan jujur ketidak-berdayaan makhluk yang lemah kepada Khaliknya. Takbir juga pertanda kepasrahan diri manusia yang Muslim kepada Rabb mereka.
Dalam titik religiusitas itu, manusia Muslim sadar, dalam kosmos yang tak terbatas ini dirinya sangat kecil. Manusia ibarat sebuah sel dalam tumbuhan raksasa. Dia hanya sebutir debu di tengah kabut galaksi. Dia hanya seorang aktor dalam panggung nasib yang telah direkayasa Sang Sutradara Agung. Dia hanya seorang hamba yang terikat dan telah ber-syahadah untuk menjalankan seluruh perintah Allah.
Karenanya, getaran takbir adalah obat mujarab untuk membersihkan karat-karat kepongahan jiwa. Air jernih yang mengguyur hati dan memunculkan kesegaran spiritual-transendental. Membunuh arogansi dan menyuburkan sikap tawadlu.
Menjadi wajar kalau takbir menuntut dikumandangkan dengan kesiapan dan kesungguhan batin. Dan puncak semua kesadaran itu adalah terjadinya transformasi imam pada dimensi kasat mata.
Batu uji empiris jiwa yang bertakbir adalah 'amal bil arkan. Maka adalah tidak elok kalau takbir tak pernah memunculkan refleksi sosiologis.
Adalah dusta belaka kalau kebesaran Allah hanya diwujudkan dalam kata-kata, padahal takbir menuntut diperdengarkan dalam bentuknya yang utuh, yakni amal nyata menegakkan dinullah dalam diri, keluarga dan masyarakat.
Melewati Ramadhan ini, marilah kita bersiap diri untuk bertakbir dengan segenap totalitas maknanya. Wallahu 'alam bishawab.