REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Apa yang tidak ia mohonkan ampunannya, hukumnya sama dengan orang yang tidak bertobat. Ramadhan sebentar lagi berlalu. Pada masa sepuluh hari terakhir ini, kaum Muslimin dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dan mela kukan iktikaf. Waktu yang begitu istimewa ini ratusan ribu malaikat turun dari langit. Mereka ikut mendoakan orang-orang yang sedang bertobat.
Orang yang bertobat dari dosa boleh jadi lebih utama ketimbang mereka yang tidak pernah terjerumus pada dosa, tetapi tak mau bertobat. Padahal, manusia seyogianya diperintahkan memohon ampunan bahkan saat meraih kemenangan.
"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha penerima tobat." (QS an-Nashr: 1-3).
Sungguh berat dosa itu mengganjal. Terkadang, bebannya menghalangi kita untuk mendekat dan memohon ampunan. Rasa putus asa menggelayut, padahal Allah memiliki sifat Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
"Katakanlah, Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah meng ampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang. Dan, kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada- Nya." (QS az-Zumar: 53-54).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, ayat 53 surah az-Zumar itu dimaksudkan sebagai bentuk larangan berputus asa dari rahmat Allah SWT meski seseorang telah melakukan banyak dosa. Dia pun tak diperkenankan untuk membuat orang lain berputus asa dari rahmat-Nya. Tidak heran, sebagain ulama Salaf berkata, "Orang yang memiliki pemahaman yang benar adalah yang tidak membuat putus asa orang lain dari rahmat Allah dan ti dak menyuruh mereka bermaksiat kepada Allah Ta'ala.
Putus asa pada QS az-Zumar ayat 53 itu disebut dengan istilah al-Qunuth. Maknanya adalah berkeyakinan bahwa Allah tidak akan mengampuninya jika ia bertobat atau dengan mengatakan dia tidak kuasa untuk bertobat. Setan telah menguasainya. Dengan demikian, ia berputus asa dan tidak mau bertobat meski ia tahu bahwa jika dia bertobat Allah pasti mengampuninya. Lantas, apakah meninggalkan perintah Allah tidak akan dipertanggungjawabkan tanpa siksaan? Siksaan itu ada dua macam.
Pertama, dengan rasa sakit. Ini bisa gugur lantaran banyaknya kebaikan. Kedua, dengan berkurangnya derajat dan tidak diberikan haknya. Ini dapat terjadi jika yang pertama tidak terjadi. Allah menggugurkan kejelekan-kejelekan orang yang berbuat jahat.
Para ulama mengungkapkan, jika istighfar (memohon ampun kepada Allah) dengan tetap melakukan dosa adalah tobatnya para pendusta. Jika seseorang telah mengaku bertobat atau telah beristigfar, tapi tetap saja melakukan sesuatu yang di larang (dosa), istigfar itu tidaklah bermanfaat sama sekali. Tobat yang disertai dengan tetap melakukan dosa adalah dua hal yang saling berlawanan. Tidak berarti tobat tanpa diikuti berhenti dari berbuat dosa.
Bertobat dari sebagian dosa tanpa bertobat dari sebagian lainnya sama seperti melaksanakan sebagaian kebaikan yang diperintahkan tanpa melakukan lainnya. Sesungguhnya orang yang memiliki dosa lalu bertobat dari sebagiannya tanpa pada sebagian lainnya, maka tobatnya itu hanya dapat menghapus dosa yang ia mohonkan. Sementara itu, apa yang tidak ia mohonkan ampunannya maka hukumnya sama dengan orang yang tidak bertobat.
Pertanyaan berikutnya, apakah diampuni dosa yang dilakukannya pada saat ia berstatus kafir dan tidak bertobat darinya setelah masuk Islam? Ada dua pendapat para ulama. Pertama, diampuni semua dosa nya, berdasarkan sabda Rasulullah SAW, "Islam menghapus dosa sebelumnya." Kemudian, hadis lainnya yakni, "Menutupi (menghapus) apa yang sebelumnya."
Hadis ini diucapkan Nabi SAW ketika Amru bin Ash masuk Islam. Dia memohon agar diampuni dosanya yang telah lalu. Nabi SAW pun bersabda kepadanya, "Wahai Amr, tidaklah engkau ketahui bahwa Islam menghapuskan dosa sebelumnya."
Pendapat kedua, yakni tidak serta-merta keislamannya akan menghapuskan dosa nya pada saat ia kafir kecuali bertobat darinya. Jika ia masuk Islam, sedang ia tetap melakukan dosa besar selain kekafiran, dalam hal itu hukumnya sama dengan pelaku dosa besar lainnya.
"Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu (Abu Sufyan dan kawan-kawannya), "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu." (QS al- Anfaal: 38).
Ayat ini menunjukkan tentang orang yang telah berhenti dari kekafiran dan bertobat darinya akan diampunkan semua dosa yang telah dilakukannya. Tobat dapat menghancurkan dosa yang sebelumnya sebagaimana berhijrah dari dosa akan menghapuskan dosa-dosa sebelumnya.
Dalam ash-Shahihain, Hakim bin Hizam berkata, "Apakah kami akan disiksa dengan apa yang kami lakukan pada masa jahiliyah?" Maka, Rasulullah SAW bersabda, "Siapa di antara kalian yang berbuat baik dalam Islam, maka dia tidak akan disiksa dengan apa yang diperbuatnya pada masa Jahiliah. Dan, barang siapa yang berbuat buruk dalam Islam, maka dia disiksa dengan yang pertama dan yang terakhir."
Hadis ini menunjukkan, siksaan hanya dapat dihilangkan bagi orang-orang yang benar-benar baik keislamannya. Ketika dia tidak memperbaiki diri setelah masuk dalam Islam, dia tetap diberi balasan (disiksa) baik sebelum masuk Islam atau sesudahnya. Wallahualam.