REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nabi Yusuf mendapatkan mimpi tentang bakal terjadinya tujuh tahun masa kemakmuran di Mesir yang akan diikuti dengan tujuh tahun masa paceklik. Dengan informasi langit itu, Yusuf yang akhirnya diangkat oleh Firaun menjadi pejabat tinggi bisa mengelakkan Mesir dari bencana kelaparan.
Kemakmuran Mesir sangat bergantung pada Sungai Nil yang luapan airnya di musim banjir menjadi sumber air utama bagi lahan-pahan pertanian di sekitar. Sebenarnya, tanpa perlu mengandalkan sumber informasi nubuat, untuk mengetahui apakah besok bakal makmur atau paceklik rakyat Mesir bisa mengandalkan alat pengukur ketinggian air Sungai Nil yang diberi nama Nilometer.
Nilometer atau al-Miqyas dalam bahasa Arab, adalah situs sejarah unik dan tertua warisan masa lalu Me sir yang terletak di ujung selatan Pulau Rawdah, Kairo, Mesir. Pengukuran ketinggian air Nil dengan Nilometer terus dilakukan dari masa lampau hingga era modern.
Nilometer telah mengukur kadar air Sungai Nil lebih dari 5.000 tahun. Selama 13 abad ini, catatan mengenai ketinggian air Sungai Nil terdata dengan rapi yang membuat Nilometer dikenal sebagai perangkat pengukuran air yang sangat baik dalam sejarah.
Alat ini dibangun sejak periode para Firaun menegakkan piramida, bahkan diyakini sudah ada sejak sebelum masa Nabi Yusuf. Dinasti Umayyah di bawah pimpinan Sulaiman Abdul Malik membangun kembali Nilometer di Pulau Rawdah, pulau di tengah Sungai Nil sepanjang tiga kilometer, sekitar tahun 715 M. Tahun 815 M, Nilometer direnovasi oleh khalifah al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah, akan tetapi hancur diterjang banjir 35 tahun kemudian.
Nilometer yang masih berdiri hingga saat ini di Pulau Rawdah merupakan rancangan Abdul Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Kathir al- Farghani, ilmuwan Muslim yang berasal dari Ferghana, Turkistan Barat. Dunia Barat lebih mengenalnya sebagai Alfraganus sang astronom. Pembangunan Nilometer tahun 861 M di Pulau Rawdah itu atas perintah khalifah al-Mutawakkil dari Dinasti Abbasiyah.