REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Realitas hidup di zaman sekarang mempermudah orang untuk berutang. Lihat saja, penawaran kredit ada di hampir setiap mal atau pusat perbelanjaan, misalnya toko-toko barang elektronik atau kendaraan pribadi. Bahkan, tak sedikit yang menerapkan mekanisme bunga alias riba.
Tidak seperti riba yang hukumnya haram, utang pada dasarnya dibolehkan (jaaiz) menurut hukum Islam. Dalam surah al-Baqarah ayat 282, Allah SWT telah menjelaskan secara detail bagaimana seharusnya seorang Muslim ketika mengambil utang. Misalnya, perjanjian utang-piutang harus dicatat. Kemudian, kriteria saksi-saksi yang dihadirkan untuk menyaksikan perjanjian itu.
Rasulullah SAW sendiri pernah berutang di masa hidupnya. Akan tetapi, Nabi Muhammad SAW melakukan itu hanya untuk memenuhi kebutuhan mendasar yang memang ketika beliau hendak berutang tak memilikinya. Umpamanya, makanan.
Nabi SAW juga selalu memiliki barang untuk menjamin utangnya itu. Bila pada waktu yang ditentukan beliau tak dapat membayar utang, peminjamnya dapat mengambil barang tersebut.
Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, dari Aisyah RA, dikatakan bahwa Nabi SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan cara tidak tunai (utang), lalu beliau menggadaikan baju zirahnya.
Kemudahan pada masa kini jangan sampai melalaikan kita. Bila Rasulullah SAW saja berutang hanya untuk keperluan primer, mengapa kita melakukannya untuk kebutuhan yang tidak terlalu penting (tersier)? Bahkan, di antara kita berutang untuk sekadar pamer di tengah kawan-kawannya?