REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Prinsip toleransi dan kebebasan juga diberlakukan Khalifah Umar bin Khaththab. Dikisahkan, di bawah kepemimpinan Umar, umat Islam berhasil merebut kembali kota suci Yerusalem pada 638 atau enam tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Khalifah pun mendirikan masjid di kota suci itu.
Sebelum berhasil ditaklukkan tentara Islam, Yerusalem dikuasai orang-orang Kristen yang telah memerintah di sana sejak masa Kaisar Constantin. Setelah kaum Nasrani itu menyerah, Umar diminta datang sendiri ke kota suci itu.
Dengan begitu, uskup Yerusalem mau menyerahkan kunci kota tersebut. Sehari-hari, uskup tersebut menjafa makam Kristus yang suci bagi kaum Nasrani di Yerusalem.
Ketika kunci sudah di tangan Umar, penduduk setempat kaget. Sebab, penampilan Khalifah bak orang biasa--tak ada pakaian sutra atau tanda-tanda kebesaran lainnya.
Uskup kemudian mengundang Umar untuk menunaikan shalat di dalam gereja utama kaum Kristen. Namun, Umar melihat bagian dalam ruangan gereja itu dihiasai berbagai simbol Kristen. Maka, dia dengan sopan mengatakan, "Saya akan shalat di luar pintu ini saja."
Selesai shalat, Uskup pun bertanya kepada Umar, "Mengapa Tuan tidak mau masuk ke gereja kami?"
"Jika saya sudah shalat di tempat suci kalian, para pengikut saya dan orang-orang yang datang ke sini pada masa mendatang akan mengambil-alih bangunan ini dan mengubahnya menjadi masjid. Untuk menghindari kesulitan-kesulitan itu dan agar tetap sebagaimana adanya (keadaan kaum Nasrani), maka saya shalat di luar."
Tindakan Khalifah Umar itu ternyata membuat kagum sang uskup terhadap agama Islam.
Begitu pula rakyat Palestina yang mengelu-ngelukan kedatangannya. Apalagi setelah kota suci itu diperintah Islam, mereka mendapatkan kebebasan. Mereka diperlakukan dengan baik. Hal itu cukup kontras bila dibandingkan saat diperintah Kaisar Constantin.
Prinsip-prinsip yang sama juga diterapkan oleh khalifah-khalifah setelahnya. Ali bin Abi Thalib, misalnya, ketika menjadi khalifah menerapkan hukum terhadap penduduknya sesuai dengan agama yang mereka anut.
Menantu Nabi ini, dalam menerapkan keadilan di bidang hukum tidak pernah membedakan stutus sosial. Baik mereka yang punya kedudukan tinggi maupun rakyat jelata diberlakukan sama.
Bahkan, ia pernah menegur seorang hakim karena dalam suatu persidangan ia mendapatkan panggilan kehormatan Abu Hasan, sedangkan tertuduh seorang Yahudi dipanggil dengan nama biasa.
Membasmi Feodalisme
Selanjutnya, hal serupa juga terhadi pada Khalifah Umar bin Abdul Azis. Meskipun ia memerintah hanya dua tahun, keadilannya tercatat dengan tinta emas dalam sejarah Islam.
Tak lama setelah menjadi khalifah, Umar membasmi sistem feodalisme yang diterapkan dan dipraktekkan oleh Bani Umaiyah.
Baginya, sistem feodalisme bertentangan dengan ajaran Islam murni, yang memberlakukan manusia sama. Pembeda di antara manusia hanyalah derajat ketakwaan di hadapan Allah.
Beberapa tanah luas milik kerabatnya sendiri diberikannya kepada Baitul Maal yang dapat dinikmati rakyat luas.
Dalam masa pemerintahannya ia berhasil mengembalikan kepemimpinan Islam seperti yang dipraktekkan pada masa Nabi dan para Khulafaur Rasyidin. Di samping itu, Umar memerintahkan supaya menghentikan pemungutan pajak dari kaum Nasrani yang masuk Islam.
Dengan begitu berbondong-bondonglah kaum Nasrani memasuki agama Islam karena penghargaan mereka terhadap ajaran-ajaran Islam, dan juga karena daya tarik pribadi Umar bin Abdul Aziz sendiri.
Di antara kebijaksanaan Umar yang terpuji ialah, mengembalikan gereja kepada kaum Nasrani yang diambil alih oleh khalifah sebelumnya dan diubah menjadi masjid. Ketika Umar menjadi khalifah, dan orang Nasrani mengetahui bahwa Umar seorang yang adil, maka mereka menuntut supaya gereja mereka dikembalikan kepada mereka.
Umar membatalkan kebijakan khalifah sebelumnya yang telah menjadikan gereja menjadi sebuah masjid. Menurut pendapat Umar, apa yang dilakukan khalifah sebelumnya itu tidak adil karena bertentangan dengan toleransi agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Dengan demikian, kaum Nasrani yang merasa hak-hak mereka tidak diabaikan, mengucapkan terima kasih kepada Umar.