REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Buku 50 Pendakwah Pengubah Sejarah menjelaskan bahwa pada masa mudanya, KH Abdul Hamid memiliki sikap tempramental. Karena itu, saat masih kecil dan remaja, dia cenderung keras menghadapi orang-orang kafir.
Misalnya, Kiai Hamid pernah marah dan langsung bertindak ketika melihat orang Tionghoa yang kafir sedang mengadakan acara ritual atau perayaan keagamannya. Waktu itu, Kiai Hamid menggunakan cara-cara konfrontatif untuk mengubah segala bentuk kemungkaran.
Namun, kemudian beliau berubah menjadi ulama yang sabar. Pada masa dewasanya, Kiai Hamid lebih lembut dalam berdakwah dan lebih mengutamakan harmoni. Jika pun akan melakukan perubahan, berusaha agar tidak menimbulkan kegaduhan.
Saat menjadi pengasuh Pesantren Salafiyah Pasuruan, Kiai Hamid juga tak segera melakukan perubahan yang radikal. Bagi Kiai Hamid, kegiatan mengajar di pesantren adalah dakwah dan bukan sekadar transfer ilmu dari guru ke murid. Kiai Hamid memandang mengajar sebagai kegiatan untuk mengubah anak santri yang sebelumnya menyalahi syariat menjadi sesuai syariat.
Karena itu, pada 1960, Kiai Hamid juga sangat aktif menggelar pengajian di desa-desa, terutama yang masyarakatnya kurang tersirami ajaran Islam. Tidak hanya berdakwah, Kiai Hamid juga turut memelopori perbaikan masjid, mushala, dan madrasah yang sudah ada.
Berdakwah dengan Lemah-Lembut
Dalam memberikan nasihat, Kiai Hamid akan menyampaikannya secara halus, sehingga pihak-pihak yang diingatkan tidak tertekan. Dengan cara dakwahnya yang lembut, Kiai Hamid menjadikan Islam se bagai rahmat bagi alam semesta.
Sementara, dalam forum-forum pengajian, Kiai Hamid suka menyampaikan dengan menggunakan perumpamaan. Misalnya, saat menjelaskan isi kitab al-Hikam yang berbunyi, Pendamlah seluruh wujud mu dalam bumi khumul(keadaan tak dikenal orang).
Kiai Hamid kemudian mengibaratkan, jika orang berbudi daya jagung dan benihnya tak dia tanam ke dalam tanah, maka tanaman itu tak akan tumbuh, malah bisa jadi akan dipatuk ayam.
Artinya, janganlah menonjolkan diri, tapi benamlah dirimu ke dalam ketidakterkenalan.
Selain itu, Kiai Hamid juga kerap meme lesetkan pesan-pesan Jawa agar mudah dicerna oleh masyarakat. Seperti saat menyampaikan ungkapan, "Kembang jagung dipetik Cino, barang wis kadung ya jarno" (kembang jagung dipetik Cina, barang yang sudah terlanjur ya dibiarkan).
Kiai Hamid memelesetkannya menjadi, "Kembang jagung dipetik Cino, barang wis kadung yo dibenakno" (kembang jagung di petik Cina, barang yang sudah terlanjur ya diperbaiki).
Dalam menyampaikan ajaran Islam, Kiai Hamid memang kerap memadukannya dengan kearifan lokal. Dengan demikian, sesuatu yang berat dapat dicerna dengan santai oleh para pendengarnya, tanpa rasa tegang. Dengan sikapnya yang arif dan bijaksana, ucapan dan tindakan Kiai Hamid pun berpengaruh di tengah masya rakat.
Meninggal Dunia
Kiai Hamid wafat pada Sabtu, 25 Desember 1982 dalam usia 70 tahun. Kisah hidupnya telah dijelaskan cukup lengkap dalam buku berjudul Percik-Percik Keteladanan Kiai Hamid Pasuruan yang ditulis oleh Hamid Ahmad. Dalam buku ini juga dijelaskan tentang kiprah dakwah ulama yang meneduhkan itu.
Sebagaimana dituturkan dalam buku tersebut, kabar wafatnya Kiai Hamid pun segera menyebar, lewat radio, dari mulut ke mulut, dan dari telepon ke telepon. Umat da tang berbondong-bondong untuk melayat ke rumah duka sejak pagi. Mereka berasal dari berbagai penjuru.
Mereka seperti tak percaya Kiai Hamid meninggal, sehingga banyak yang menangis histeris. Melihat begitu banyaknya pelayat, pihak keluarga pun tidak mau ambil risiko. Khawatir menjadi rebutan, kerandanya pun diikat kuat-kuat. Menjelang Ashar keranda itu kemudian dibawa ke masjid.
Keranda itu berjalan dari satu tangan ke tangan lain karena saat itu orang tak bisa berjalan sakingpadatnya. Terjadi tarikmenarik di antara mereka. Misalnya, ketika hendak keluar dari kompleks pondok, sebagian orang hendak membawanya keluar dari gerbang barat, sebagian lainnya ke arah gerbang timur. Sampai di masjid pun demikian.
Jasad beliau disemayamkan di kompleks makam sebelah barat masjid Agung al-Anwar Pasuruan.
Kompleks ini memang diperuntukkan bagi para kiai dan habaib. Di sana antara lain ada makam Habib Ja'far bin Syaikhon Asse gaff (guru Kiai Hamid), Kiai Achmad Qusyairi (paman sekaligus mertua Kiai Hamid), dan Kiai Achmad bin Sahal (ipar Kiai Hamid).