REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berbeda dengan para ulama pada umumnya, KH Abdul Hamid tak suka menonjolkan diri dengan ceramah di depan umum. Kendati demikian, Kiai Hamid kerap mendakwahkan Islam dengan lembut, sehingga sangat dihormati dan disegani masyarakat.
Pembawaannya menunjukkan seorang ulama yang berilmu tinggi. Suaranya pelan, sangat lirih, nyaris seperti orang yang sedang berbisik.
Ketika melaksanakan shalat gerakannya tampak pelan. Begitu juga saat berzikir dan mengajarkan kitab kepada para santrinya. Kiai Hamid juga berbicara pelan dengan para tamu, santri, dan keluarganya.
Ulama yang memiliki nama lengkap KH Abdul Hamid bin Abdullah bin Umar ini lahir di Lasem, Jawa Tengah, pada 1914, tepatnya di Dukuh Sumurkepel, Desa Sumbergirang. Awalnya, orang tuanya memberinya nama Abdul Mu'thi. Namun, setelah remaja nama itu diganti menjadi Abdul Hamid.
Hamid kecil kemudian tumbuh sebagai anak yang lincah dan agak nakal. Namun, kenakalan Hamid tidak seperti anak-anak zaman sekarang, yang sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Hamid masih dalam batas wajar.
Sehari-hari, Hamid kecil jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Bahkan, Hamid kecil bisa disebut bolamania alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi itu.
Setelah berusia 12 tahun, Hamid kecil kemudian belajar ke Pondok Pesantren Kasingan Rembang yang diasuh oleh KH Cholil bin Harun, mertua dari KH Bisri Mustofa.
Setelah belajar agama di pesantren tersebut, Kiai Hamid pindah ke Pondok Pesantren Tremas di Pacitan yang didirikan oleh KH Abdul Manan. Santri-santri di sana banyak yang datang dari berbagai pelosok negeri.
Selama 12 tahun usianya dihabiskan di sana. Setelah itu, Kiai Hamid langsung menikah dengan putri KH Ahmad Qusyairi yang bernama Nafisah. Kiai Hamid menikah di Pasuruan pada 12 September 1940. Kemudian, pada 1951, dia menjadi pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Pasuruan, Jawa Timur.