REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Habib Faridhal Attros Al-Kindhy
Di malam turunnya Alquran, Nuzulul Quran, pada bulan Ramadhan, sampailah lima ayat pertama dari surah al-Alaq (QS 96:1-5) kepada Nabi Muhammad SAW, lewat perantaraan Malaikat Jibril. Peristiwa itu dikenal juga sebagai tanda pelantikan seorang manusia menjadi rasul, utusan Allah yang terakhir. Sejak saat itu, beliau adalah Rasulullah SAW, sang penutup para nabi.
Pada malam itu, secara resmi Muhammad SAW menjadi manusia pilihan yang mengemban amanah berupa tugas suci dan mulia menyebarluaskan risalah Ilahiah. Sebelum itu, selama beberapa waktu lamanya Muhammad SAW telah menjalani proses penyucian hati (tazkiyatun nafs) dengan cara ber-tahanuts (menyepi) di Gua Hira, sebuah gua kecil di punggung bukit Jabal Nur yang terletak sekitar tiga mil sebelah utara Kota Makkah.
Wahyu pertama yang turun memberi makna pada upaya penyadaran manusia akan proses penciptaan diri dan pembentukan intelektualitasnya. Proses itulah yang akhirnya mengantarkan manusia memahami risalah Ilahiah yang terkandung dalam Alquran.
Semua proses itu ternyata tak bisa dilepaskan dari campur tangan Allah SWT. "Bacalah. Dengan (menyebut) nama Tuhammu yang menciptakan. Yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan pena. Yang mengajarkan (manusia) apa yang tidak diketahuinya."
Oleh karena itu, dalam memperingati Nuzulul Quran, kita berharap lebih memahami serta menghayati risalah suci yang dibawa Rasulullah SAW dan terangkum dalam Alquran.
Risalah itu dimaksud sebagai pembentuk karakteristik manusia menjadi seorang mukmin yang sejati lewat sebuah proses transformasi jiwa. Proses transformasi jiwa ini dimungkinkan oleh kekuatan logis pikiran yang merupakan perluasan dari prinsip intelektual Muslim. Di sini hati (qalb) memegang peran penting mengantarkan proses itu terjadi.
Hati dengan bakat nalurinya bersedia menerima segala hakikat pengetahuan sebagaimana yang terjadi pada diri Muhammad SAW saat dipaksa Malaikat Jibril membaca wahyu pertama. Padahal, saat itu Rasul SAW tak bisa membaca dan menulis.
Dengan tuntunan Jibril yang mengulang perintahnya sampai tiga kali, akhirnya Muhammad SAW dapat membaca ayat-ayat pertama tersebut dengan lancar.
Maka, sangatlah wajar bila Alquran sebagai penuntun hidup manusia sangat mudah didekati oleh hati yang jernih. Lewat pendekatan hati ini, kedalaman ajaran dan ketinggian risalah Ilahiyah akan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Ini ditegaskan Alquran yang mengabadikan penerimaan hati Rasulullah SAW saat menerima wahyu pertama. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya (QS 53:11).
Ini berarti sebelum akal pikiran Muhammad SAW menerima kebenaran Ilahi, kalbu beliau menerimanya terlebih dulu.
Maka alangkah baiknya bila di bulan Ramadhan ini kita lebih mendalami Alquran lewat pendekatan hati (qalb). Suasana Ramadhan yang penuh kemuliaan, kesucian, dan keberkahan secara pasti mendorong upaya tersebut.
Maka saat mengakhiri Ramadhan, kita telah menjadikan Alquran sebagai keseluruhan tingkah laku atau berakhlak. Tentu saja, akhlak yang kita harapkan sebagaimana Rasulullah saw berakhlak. Sesungguhnya akhlak Rasulullah adalah Alquran.