Jumat 10 May 2019 05:05 WIB

Masjid Sabilillah, Monumen Perjuangan di Masa Kemerdekaan

Masjid ini memiliki keterkaitan kuat dengan laskar pejuang Islam.

Rep: Wilda Fizriyani / Red: Agus Yulianto
Masjid Sabilillah Kota Malang memiliki nilai sejarah kuat di masa kemerdekaan Indonesia.
Foto: Republika/Wilda Fizriyani
Masjid Sabilillah Kota Malang memiliki nilai sejarah kuat di masa kemerdekaan Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, Matahari belum berdiri tegak di atas kepala manusia, tapi aktivitas di Masjid Sabilillah sudah berjalan. Bahkan, sebelum azan Zuhur berkumandang, sejumlah jamaah telah terlihat takzim membacakan Alquran. 

Tak hanya bertadarus, segelintir jamaah juga terlihat khusyuk menjalankan salat sunat. Sementara di sudut lain, nampak beberapa akhwat tengah melakukan pembelajaran agama. Meski di tengah-tengah aktivitas renovasi masjid, kegiatan jamaah nyatanya tetap berjalan baik di masjid yang berada di Jl Ahmad Yani, Blimbing, Kota Malang ini.

Tak banyak yang tahu, masjid yang berada di tengah-tengah pusat keramaian ini memiliki sejarah kuat di masa kemerdekaan. Masjid berukuran 1.800 meter persegi ini memiliki keterkaitan kuat dengan laskar pejuang Islam. Lebih tepatnya dengan Laskar Sabilillah yang berada di bawah pimpinan Kiai Haji Zainul Arifin dan Laskar Hizbullah, Kiai Haji Masykur.

Sekretaris Takmir Masjid Sabilillah Akhmad Farkhan menceritakan, masa di mana terjadi pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Kala itu, setiap pejuang yang mencintai kemerdekaan Indonesia perlu ikut mengangkat senjata dalam mengusir tentara sekutu. Tak terkecuali dari Kota Malang dengan jumlah yang cukup besar.

photo
Masjid Sabilillah Kota Malang memiliki nilai sejarah kuat di masa kemerdekaan Indonesia.

"Para pejuang berani meninggalkan kotanya, guna ikut bergabung bersama para pejuang Iainnya," kata Farkhan kepada Republika.co.id, belum lama ini.

Sekitar pekan keempat di November, pasukan-pasukan yang tergabung dalam barisan Hizbullah dan Sabilillah mengalir ke medan penempuran di Surabaya. Mereka bertempur di bawah komando Imam Sudja'i. Perjuangan sengit ini tentu saja menimbulkan banyaknya pejuang yang gugur di Medan perang. Semuanya tersebar, di Wonokromo, Waru, Buduran dan sebagainya.

Menurut Farkhan, peranan para pemuda Islam dan ulama di masa perjuangan bangsa tidak kecil. Salah satunya terlihat pada usaha Barisan Hizbullah. Mereka berhasil menghimpun kekuatan pemuda-pemuda Islam yang tersebar di sejumlah wilayah. 

Sementara untuk barisan Sabilillah, dia mengungkapkan, mereka lebih menghimpun di kalangan santri dan ulama. Tujuannya tak lebih, yakni untuk saling membantu dalam satu kekuatan demi mengusir penjajah. "Kiai Haji Zainul Arifin, panglima Hizbullah dan Kiai Haji Masykur, panglima Sabilillah, juga para pejuang ulama Iainnya telah ikut menyumbangkan darma-baktinya dalam mengisi sejarah perjuangan bangsa," tambah dia.

Berdasarkan perjuangan patriotik para ulama, maka Masjid Sabilillah pun dibangun. Menurut Farkhan, keberadaan masjid ini dijadikan sebagai monumen peringatan atas pengorbanan mereka. Dalam hal ini di samping sebagai rumah ibadah. 

Selain itu, pendirian Masjid Sabilillah ditunjukkan untuk menghormati dan mengabadikan ketakwaan kepahlawanan para ulama. Juga, meneladani semangat perjuangan dalam membela agama. Kemudian untuk meneladani semangat perjuangan dalam membela agama, bangsa dan tanah air. "Maka Masjid Raya ini pun diberi nama Sabilillah," tegas Farkhan.

Pada proses pembangunannya, Farkhan mengungkapkan, keinginan ini sudah muncul sejak awal 1968. Pasalnya, masjid lama yang sudah berdiri terlebih dahulu tak lagi dapat memenuhi kebutuhan jamaah. Apalagi, ia melanjutkan, jumlah jamaah selalu meningkat dari waktu ke waktu.

Tepat pada Juli 1968, kata Farkhan, terbentuklah Panitia Pembangunan Masjid Blimbing di Kota Malang. Pembentukan ini berdasarkan petunjuk dari tokoh agama, Kiai Haji Nakhrawi Thohir yang kini telah wafat. Melalui momen tersebut, usaha pengumpulan dana pun mulai dijalankan. 

Peletakan batu pertama sebenarnya telah dilakukan lebih dari sekali. Namun sayangnya, usaha pembangunan masjid ini belum juga memperoleh kemajuan di pertengahan 1974. "Malahan dalam waktu yang cukup lama pembangunan masjid ini mengalami kemacetan," ujar Farkhan.

Namun kendala tersebut akhirnya terpecahkan pada 4 Agustus 1974 atas prakarsa Kiai Haji Masykur. Beberapa orang telah diundang untuk melanjutkan pembangunan masjid yang mengalami hambatan. Pertemuan ini membuahkan hasil untuk merombak kepengurusan panitia, mengubah cara kerja dan berusaha membangun masjid ini lebih baik lagi. 

"Rencana permulaan ditingkatkan Iebih jauh. Dan masjid ini diusahakan menjadi masjid yang monumental, memiliki mutu arsitektur yang baik sesuai dengan kemajuan perkembangan pembangunan materiil dan spiritual," jelasnya.

Sekitar 8 Agustus 1974 pembangunan masjid ini mulai digiatkan kembali. Di proses ini, Farkhan tak menampik, pengelola terkadang mengalami kelambanan. Namun usaha terus dijalankan hingga pembangunan masjid pun rampung kurang lebih enam tahun berikutnya.

Secara keseluruhan, bangunan induk masjid yang terdiri dua lantai ini berukuran 1.800 meter persegi. Bangunan lantai pertama seluas 1.600 meter persegi. Sementara lantai duanya memiliki luas 650 meter persegi. "Semua bangunan induk masjid ini berkonstruksi beton," terang Farkhan.

Di atas bangunan, Farkhan melanjutkan, terdapat kubah bergaris tengah 20 meter. Angka ini untuk dimaknai sebagai 20 sifat-sifat Tuhan. 

Lalu di sebelah kanan bangunan induk masjid terdapat menara setinggi 45 meter. Angka bertujuan mengingatkan tahun perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Selain itu, makna khusus juga ditunjukkan pada jumlah 17 pilar di seluruh masjid. Menurut Farkhan, angka ini untuk melambangkan tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Selanjutnya makna bulan kemerdekaan Indonesia juga dimasukkan pada ketinggian bangunan. "Mulai dari lantai sampai ke atap tingginya delapan meter. Ini bulan kedelapan atau bulan Agustus," ujarnya. 

Sementara makna tahun kemerdekaan diterapkan pada lebar masjid serta tinggi menara. Ukuran 45 meter ini melambangkan tahun perjuangan bangsa Indonesia yakni 1945. 

Filosofi bangunan masjid tak hanya berhenti begitu saja. Jarak lima meter antara pilar yang satu dengan lainnya memiliki makna Pancasila dan Rukun Islam. Dalam hal ini jumlahnya masing-masing lima poin. 

"Segi enam pada bangunan menara melambangkan rukun iman pada agama Islam," tambah dia.

Selain itu, masjid juga diinformasikan memiliki sembilan pilar di dalamnya. Menurut Farkhan, angka ini memiliki arti pada perjuangan Wali Songo yang telah menegakkan Islam di Pulau Jawa.

Sementara itu, juga terdapat bangunan pelengkap yang luasnya 800 meter persegi dengan dua lantai. Pada lantai pertama terdapat kantor takmir, perpustakaan masjid, tempat wudhu dan ruang sekolah TK Islam Sabilillah. Lalu pada lantai kedua sekarang digunakan sebagai ruang SD Islam Sabilillah.

Keberadaan Masjid Sabilillah saat ini juga mendapatkan penilaian cukup baik dari warga sekitar. Warga Kota Malang Syamsul menilai, aktivitas masjid terbilang cukup aktif. Mereka banyak melakukan kegiatan yang melibatkan warga sekitar.

Di kegiatan kajian, Syamsul berpendapat, materi yang disampaikan sangat menyejukkan. Selain itu, pengelola masjid juga acap memberikan takjil dan nasi kotak selama Ramadhan. "Merasa terbantu," terang dia.

Penilaian serupa juga diungkapkan warga Kota Malang lainnya, Alfi. Menurut dia, fasilitas masjid lumayan lengkap dan cukup membuat jamaah merasa nyaman. Area parkirnya juga luas sehingga baik untuk jamaah yang membawa kendaraan pribadi.

"Jejak historisnya juga sangat menarik karena merupakan monumen bersejarah untuk para pejuang," tambah Alfi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement