REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kota-kota Islam di Timur sudah terdapat organisasi sosial seperti futuwwah. ''Anggotanya terutama anak-anak muda dari kelas pekerja,'' cetus Al-Hassan dan Hill. Sebuah futuwwah, biasanya memiliki pengaruh yang kuat di kalangan para pekerja. Organisasi semacam ini kadang-kadang menampakkan semacam oposisi terhadap perbedaan kelas.
Anggota futuwwah mempunyai prinsip yang ideal dan mengembangkan hubungan saling memengaruhi dengan kelompok pengikut sufi. Pada masa itu, semua pekerja dengan profesi tertentu sudah dikelompokkan ke dalam serikat kerja masing-masing. Menurut Al-Hassan dan Hill, hubungan antara serikat pekerja, futuwwah, serta kelompok sufi makin menguat setelah abad ke-11 M.
Masuknya seorang pekerja atau buruh ke dalam sebuah serikat pekerja pada era kejayaan Islam ternyata mampu memberi rasa bangga. Bergabungnya para buruh dan pekerja ke dalam sebuah serikat kerja tak hanya dilandasi tujuan profesional belaka, tetapi juga ada yang lain, yakni tujuan sosial dan religius.
Pencapaian kesempurnaan dari sebuah karya juga menjadi tujuan spiritual mereka, ungkap Al-Hassan dan Hill. Kesempurnaan tak akan tercapai kecuali dengan kerja keras di bawah bimbingan seorang guru yang cakap. Serikat kerja di era keemasan Islam sungguh sangat unik dan menarik, sangat mirip dengan sebuah kelompok sufi.
Sebuah serikat pekerja memiliki silsilah yang bermula dari sang guru kemudian kepada orang-orang suci yang diteladani dalam pembuatan barang kerajinan tersebut, selanjutnya kepada para nabi. Setiap serikat buruh memiliki seorang syekh dan semua semua serikat disatukan oleh persatuan syaikh al-masyaikh ( syeikh dari para syeikh).
Dalam setiap serikat pekerja atau buruh terdapat tiga tingkat profesional. Pertama, tingkat magang (mubtadi). Kedua, tingkat san'i, untuk mencapai tingkat itu seorang buruh magang harus melalui ujian keahlian. Tingkat yang ketiga disebut mu'allim alias seorang ahli.
Terkadang sertifikat keahlian (ijazah) juga diberikan kepada mereka yang telah melalui ujian, papar Al-Hassan dan Hill. Pada masa itu, kata mu'allim dan ustaz digunakan untuk menunjukkan keahlian pada suatu bidang. Istilah itu juga biasa digunakan untuk menyebut seorang profesor atau guru.
Lagi-lagi, kata Al-Hassan, istilah itu mencerminkan penghargaan sosial terhadap kecakapan dalam suatu keterampilan dan pertukangan. Kota-kota dan wilayah Islam pada era keemasan juga mashur akan kecakapan para perajinnya.