REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menangis bukanlah hal tabu. Menangis bukan pula tanda cengeng dan tak berguna. Menangis bukan sebuah kelemahan, mungkin justru ia sebuah kekuatan. Mengalirnya air mata memang memiliki banyak tafsir. Menangis bagi orang beriman seharusnya bertautan dengan keimanan.
Bagi orang beriman, menangis mungkin pekerjaan yang paling mereka akrabi. Orang beriman selalu dalam kesadaran penuh jika dirinya tak pernah luput dari dosa. Mereka mencucinya dengan tobat dan penyesalan.
Air mata jenis ini tentu air mata yang sama sekali tak menunjukkan kelemahan.Rasulullah SAW bersabda, "Ada dua buah mata yang tidak akan tersentuh api neraka; mata yang menangis karena merasa takut kepada Allah, dan mata yang berjaga-jaga di jalan Allah." (HR Tirmidzi).
Jika mengaku beriman, tak ada yang lebih ia takuti dibandingkan murka Allah SWT. Dosa, yang kerap kita lakukan, meninggalkan jejak dalam hati. Perbuatan maksiat yang kita kerjakan tak ingin orang lain mengetahuinya. Kita malu dengan aib kita. Selepas melakukan kesalahan, ada rasa yang mengganjal. Tidak bisa tidak untuk membuatnya lega adalah dengan penyesalan.
Kombinasi takut akan murka Allah, malu dengan dosa-dosa yang bersusun dan penyesalan mendalam kadang menghadirkan tangisan-tangisan dalam sunyi. Kita butuh menangis untuk melepaskan beban seiring tobat yang kita lantunkan. Kita perlu tangisan, sebagai teman setia istighfar yang kita rapalkan. Jika sungguh-sungguh, bukan tak mungkin takut akan ancaman Allah akan berubah menjadi kasih sayang Allah SWT.
Seseorang yang gemar menangisi dosa akan peka hatinya. Radar imannya akan menguat. Jika mendekati perbuatan maksiat, alarmnya akan berdering kencang. Seringnya air mata penyesalan membuat hati makin bersih. Bersihnya hati memungkinkan cahaya hidayah merasuk dan kembali memancar. Namun apa jadinya jika hati legam penuh noktah alpa. Cahaya tak bisa menembus, hidayah tak mudah menelusup.