REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Setelah mengarungi perjalanan yang panjang, Ibnu Batutah kembali ke Maroko. Ia menjadi seorang hakim di negerinya sendiri. Saat bertemu Sultan Maroko, Ibnu Batutah diminta mengisahkan perjalanannya itu.
Seorang juru tulis sultan pun diutus untuk membantunya mendokumentasikan perjalanan yang sarat pengalaman dan pengetahuan tentang dunia Islam tersebut. Maka, ditulislah perjalanan selama hampir 30 tahun Ibnu Batutah oleh Ibnu Juzay, sang juru tulis Maroko. Judul asli buku tersebut Nuzzhar fi Ghara'ib al-Amshar wa 'Aja'ib al-Asfar atau persembahan mengenai kota-kota asing dan perjalanan yang mengagumkan.
Buku yang sering kali disebut “Rihlah Ibnu Batutah” tersebut kemudian menjadi legendaris dan sarat catatan sejarah. Tak hanya di Timur Tengah dan kalangan Muslim, buku tersebut pun menjadi rujukan bangsa Barat.
Buku karangannya kemudian diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Dalam bahasa Inggris, buku bertajuk Ibn Battuta, Travels in Asia and Africa 1325-1354 diterbitkan oleh penerbit ternama Routledge dan Kegan Paul.
Buku Ibnu Battah tak sekadar catatan perjalanan, tapi juga rujukan sejarah dunia Islam di seluruh penjuru dunia. Ia menceritakan dengan jelas bagaimana kondisi Islam di setiap daerah yang ia kunjungi.
Ia juga menggambarkan perkembangan Islam di Tanah Suci karena beberapa kali melakukan perjalanan menunaikan ibadah haji. Bahkan, di Indonesia, Ibnu Batutah pun berjasa dalam menguak sejarah kerajaan Islam tua di nusantara, Samudra Pasai.
Setelah meninggalkan karya legendaris itu, Ibnu Batutah menemui ajalnya. Ia meninggal pada 1368 di kota kelahirannya, Tangier Maroko. Hingga kini, nama Ibnu Batutah sangat terkenal tak hanya di kalangan Muslimin, tapi juga sejarawan barat.
Ia merupakan salah satu cendekiawan Muslim di abad ke-14. Ia telah memberikan banyak pengetahuan dan pelajaran bagi Muslimin sepanjang zaman melalui perjalanannya tersebut.