Kamis 18 Apr 2019 11:24 WIB

Menyoal Zakat Profesi

Zakat adalah salah satu rukun Islam yang utama.

Zakat
Foto: Antara
Zakat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Zakat adalah salah satu rukun Islam yang utama. Instrumen penting yang kerap di san dingkan dengan perintah shalat dan memiliki banyak dimensi. Zakat yang secara bahasa berarti berkembang atau suci itu diberlakukan dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Mulai dari objek wajib zakat, kadar, batas kewajiban, dan subjek pendistribusian zakat. 

Satu di antara persoalan zakat kontemporer ialah pelaksanaan zakat penghasilan atau profesi. Baik penghasilan yang diperoleh secara rutin, seperti gaji karyawan swasta, pejabat negara, maupun penghasilan tidak rutin, seperti dokter, pengacara, konsultan, penceramah, dan sejenisnya, serta penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya. 

Baca Juga

Prof Ballah Al Hasan Umar Musa’id dalam makalahnya berjudul “Zakat Ar Rawatib wa Al ujur wa Iradat Al Mihan Al Hurrat” mengatakan, permasalahan ini mengemuka karena memicu rentetan pertanyaan. Persoalan paling mendasar ialah, ada atau tidakkah legalitas perintah zakat jenis ini dalam tuntunan zakat yang diajarkan Rasulullah? 

Ballah lantas menguraikan topik ini dalam karyanya yang dipublikasikan di Majalah Universitas King Saud, Arab Saudi. Menurutnya, secara umum inti persoalannya ialah ketiadaan dalil yang dengan tegas mewajibkan jenis zakat ini. Karenanya, praktik zakat profesi pun tidak didapati semasa Rasulullah. Pangkal perbedaan kemudian juga timbul ketika menganalogikan (qiyas) jenis ini dengan zakat al mal al mustafad. 

Menurut Ballah, terkait zakat profesi muncul opsi pandangan dari sejumlah pakar fikih terkemuka. Syekh Muhammad al-Ghazali ber pendapat, zakat ini wajib dikeluarkan. Argumentasinya merujuk pada surah al-Baqarah 267 yang berlaku umum. Secara logika, bila seorang petani saja dibebankan berzakat, seyogianya zakat profesi diwajibkan. 

Pendapat serupa juga disampaikan oleh deretan nama pakar tersohor, yakni Syekh Abdurrahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah, dan Abdul Wahab Khalaf. Zakat itu wajib dikeluarkan bila telah mencapai haul (satu tahun) dan cukup nishab-nya (kadar wajib zakat). 

Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam kitabnya, Fiqh Az Zakat, juga berpandangan sama. Me nurutnya, kewajiban zakat profesi bisa di se jajarkan dengan hukum zakat al mal al mustafad. Almarhum Prof Husain Syahatah, guru besar Fikih Universitas Al Azhar, Mesir, berpendapat sama. 

Pendapat ini juga diserap oleh Lembaga Fatwa Kerajaaan Arab Saudi pada 1392 H. Kongres Zakat Internasional pertama yang digelar 1984 mufakat, zakat profesi wajib hukumnya. Fatwa ini juga diadopsi di sejumlah negara, seperti Kuwait dan Sudan. 

Ballah juga menyebut opsi pendapat ke dua. Hanya saja, tidak diketahui secara pas ti ulama kontemporer mana sajakah yang con dong pada opsi terakhir ini, yaitu pendapat yang menyatakan zakat jenis ini tak wajib di keluarkan. 

Prof Kautsar al-Abji dalam bukunya berjudul Muhasabat Az Zakat wa Ad Dharaib fi Daulat Al Imarat Al Arabiiyah, sekadar meng isyaratkan opsi ini ada tanpa menyebut pasti siapa. Beberapa argumentasi yang dijadikan dasar kelompok ini ialah fakta bahwa jenis zakat tersebut tidak pernah dicontohkan pada zaman Rasulullah. 

Kedua, qiyas terhadap zakat al mal mustafad dinilai tidak tepat. Di satu sisi, pemberlakuan zakat ini nyaris sama dengan kosep pajak dalam sistem konvensional. Dan, hal ini tidak diperbolehkan dalam konsep Islam. 

Nishab 

Terkait batas wajib kena zakat penghasilan, Ballah menuturkan muncul silang pendapat dari kalangan yang mewajibkannya. Opsi pertama mengatakan nishabnya disamakan dengan zakat pertanian. Yaitu, bila penghasilan yang bersangkutan mencapai 653 kg hasil bumi, telah wajib zakat. Menurut pendapat kedua, nishabnya sama dengan zakat harta kekayaan ialah sebesar 85 gram emas. Sedangkan, pendapat yang kedua membedakan antara zakat profesi rutin dan tidak rutin. 

Untuk profesi rutin, nishabnya 85 gram, sementara profesi tak rutin disamakan dengan zakat pertanian, yaitu 653 kg. Namun, kata Ballah, ada hal yang penting diketahui. Sejalan dengan pendapat Syekh Qaradhawi, zakat ini diambil dari penghasilan neto. Artinya, penghasilan yang ia peroleh dikurangi dengan kebutuhan-kebutuhan wajib sehari-hari atau tuntutan utang yang mendesak dibayar. 

MUI 

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dikeluarkan pada 2003, juga menyatakan hukum zakat jenis ini ialah wajib. Ketentuannya selama penghasilan tersebut halal dan telah mencapai nishab dalam satu tahun. Nishab yang dirujuk fatwa MUI ialah 85 gram emas.

Terkait waktu, menurut fatwa ini zakat da pat dikeluarkan pada saat menerima jika su dah cukup nishab. Bila belum mencapai nishab, semua penghasilan dikumpulkan selama satu tahun. Kemudian, zakat dikeluarkan jika penghasilan bersihnya telah cukup nishab. Sedangkan, kadar zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2,5 persen. 

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement