REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Indonesia sampai saat ini masih belum ramah terhadap kalangan disabilitas. Sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim, Indonesia juga belum ramah dalam memberikan pemahaman keagamaan terhadap para penyandang disabilitas.
Kaum disabilitas sangat membutuhkan perhatian dari pemerintah untuk menyediakan akses bagi mereka. Di samping itu, disabilitas juga membutuhkan sentuhan agama dari para ulama dan ormas Islam yang ada di Indonesia.
Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Sarmidi Husna, mengatakan kaum disabilitas sangat dimuliakan Allah SWT, sehingga harus mendapat perhatian untuk mendapatkan pemahaman keagamaan.
"Allah sendiri memuliakan setiap anak turunnya Nabi Adam. Nah Disabilitas itu kan juga anak turunnya Adam. Jadi mereka harus juga dimuliakan," ujar Kiai Sarmidi kepada Republika.co.id, Kamis (18/4).
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Alquran, yang artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan manusia, dan Kami tempatkan mereka di daratan dan di lautan, serta Kami berikan mereka rezeki daripada barang yang baik-baik, serta Kami lebihkan mereka daripada kebanyakan makhluk yang Kami ciptakan dengan sebenar-benar kelebihan” (QS al-Isra’ : 70).
Kiai Sarmidi mengatakan, untuk memuliakan kaum disabilitas maka pemerintah dan masyarakat harus memiliki perhatian terhadap mereka, termasuk dalam persoalan ibadah. "Mereka juga perlu dimuliakan dalam sisi muamalah maupun ibadah," ucapnya.
Kiai Sarmidi menjelaskan, saat ini kalangan disabilitas masih belum mendapatkan akses untuk mendapatkan pemahaman keagamaan. Karena itu, menurut dia, pada 2018 lalu Lembaga Bahtsul Masail PBNU meluncurkan buku berjudul Fikih Disabilitas.
Buku ini menjadi penting sebagai panduan keislaman yang bersifat praktis bagi kalangan disabilitas. "Kita membahas dari sisi fikih memberikan fasilitas disabilitas itu seperti apa, hukumnya apa, kita bahas di situ," kata Kiai Sarmidi.
Menurut dia, pemerintah dan masyarakat juga memiliki kewajiban untuk memberikan akses kepada kalangan disabilitas, sehingga mereka bisa melaksanakan ibadah. Karena, disabilitas juga memiliki kewajiban untuk menunaikan ibadah seperti shalat.
"Misalnya memberikan fasilitas supaya akses kursi roda di masjid itu hukumnya bisa wajib karena shalatnya disabilitasnya itu juga berkewajiban melaksanakan ibadah," jelasnya.
Lebih lanjut, Kiai Sarmidi menjelaskan bahwa fikih disabilitas sangat penting untuk dikaji lebih lanjut oleh para ulama. Karena, fikih disabilitas membahas masalah-masalah hukum yang bisa dijadikan panduan bagi kalangan disabilitas.
"Ini kajian keagamaan, tentu kalau dalam masalah keagamaan itu seperti fatwa sebagai guidance untuk melaksanakan aksi-aksi lanjutan pendampingan terhadap para penyandang disabilitas," ucap Kiai Sarmidi.
Menurut dia, buku Fikih Disabilitas yang diluncurkan PBNU juga membahas secara umum bagaimana Islam memandang para penyandang disabilitas. "Jadi ini adalah fatwanya, konsepsinya bagaimana Islam menganggap kelompok disabilitas itu perlu difasilitasi," imbuhnya.
Dalam masalah hukum, menurut dia, para ulama yang menggagas fikih disabilitas tersebut setidaknya membagi menjadi empat hal. Pertama, yaitu masalah ubudiyah (ibadah), masalah muamalat, masalah munakahat (pernikahan), dan juga masalah sosial politik.
Menurut Kiai Sarmidi, permasalahan tersebut dibahas para ulama agar disabilitas mendapat sentuhan keagamaan. Karena, kata dia, selama ini kaum disabilitas banyak yang merasa kurang diperhatikan secara keagamaan.
Penyandang tunanetra membaca alquran saat mengikuti Tadarus Nasional Quran Braille di Masjid Al Ukhuwah, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (2/6).
"Kelompok mereka itu merasa tidak diperhatikan secara keagamaan, ubudiyahnya misalnya. Selama ini pemerintah itu hanya sebatas mencetak Alquran huruf Braille," katanya.
Menurut dia, pelatihan membaca huruf Braille itu sendiri juga masih belum maksimal dilakukan oleh pemerintah. Bahkan, kata dia, pelatihan membaca Alquran dengan menggunakan bahasa isyarat tidak tertangani oleh pemerintah sampai sekarang.
"Itu baru Alqurannya saja, belum misalnya tata cara ibadah, belum kajian fiqihnya, hadisnya, itu kan belum tersentuh sama sekali. Mereka yang tunanetra kan rata-rata mendengar. Tapi huruf braille yang berupa hadis itu gak ada," jelas Kiai Sarmidi.
Karena itu, menurut dia, para ulama kini berupaya untuk mengajarkan ilmu agama kepada para penyandang disabilitas tersebut. Diantaranya yaitu dengan menerbitkan buku Fikih Disabilitas. "Buku ini juga sebagai pegangan bagaimana ke depannya kita melakukan advokasi-advokasi terkait penguatan hak penyandang disabilitas itu," katanya.
Menurut dia, gagasan fikih disabilitas tersebut lahir melalui kajian-kajian yang dilakukan ulama NU dalam forum Bahtsul Masail. Pembahasan masalah keagamaan terkait disabilitas itu dilakukan sejak PBNU menggelar Musyawarah Nasional Alim Ulama di Lombok pada 2017 lalu.
"Di Lombok itu sudah ada keputusan secara umum untuk memenuhi hak disabilitas. Keputusannya di antaranya bahwa orang yang disabilitas itu juga ahliyatul ada’, yaitu orang yang masih punya kewajiban untuk menunaikan kewajiban ibadah," paparnya.
Untuk melakukan ibadah itu, maka kaum disabilitas tentunya membutuhkan fasilitas khusus di tempat-tempat ibadah, seperti kursi roda dan lain sebagainya.
Menurut dia, penyediaan fasilitas itu harus menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. "Kalau masyarakat tidak bisa, ya negara memiliki tanggung jabwa besar untuk memberikan hak-hak disablitas itu," katanya.
Kiai Sarmidi menambahkan, PBNU mengeluarkan gagasan fikih disabilitas tersebut karena adanya permintaan dari kalangan disabilitas. Sementara, menurut dia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri belum pernah melakukan kajian tentang fikih disabilitas.
"Setahu saya belum (MUI belum pernah melakukan kajian, red). Ya karena memang kami pun kan PBNU itu membahas disabilitas karena permintaan dari kelompok disabilitas," jelas Kiai Sarmidi.