REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof KH Didin Hafidhuddin
Dalam sebuah hadis qudsy riwayat Imam Abu Daud dan Hakim dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, ''Allah SWT berfirman, 'Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang melakukan perserikatan (perkongsian) selama pihak-pihak yang terlibat tidak saling mengkhianati. Apabila terjadi pengkhianatan, maka Aku keluar dari perserikatan tersebut'.''
Asbabul wurud (sebab datangnya) dan tekstual hadis tersebut berkaitan dengan perserikatan atau kerja sama antarberbagai pihak dalam bidang ekonomi dan perdagangan, dan secara khusus dalam bidang peternakan. Artinya, Allah SWT sangat mencintai setiap orang atau kelompok orang yang melakukan kegiatan bisnis secara bersama-sama dalam tatanan manajemen yang rapi yang sesuai dengan syariat Islam.
Diharapkan kerja sama tersebut akan memberikan kemanfaatan dan keuntungan yang lebih dibandingkan dengan dilakukan secara sendirian. Networking dan marketing akan bisa ditumbuhkan secara lebih luas, lebih menyeluruh, dan lebih efisien.
Akan tetapi, kerja sama (musyarakah) itu bisa dibangun dengan kokoh dan menghasilkan keuntungan lebih, jika dilandasi dengan keinginan kuat untuk saling menjunjung tinggi amanat kebersamaan dan menjauhi pengkhianatan. Bila terjadi pengkhianatan, maka akan hancurlah kerja sama itu dan akan berubah menjadi permusuhan, pertentangan, dan saling menjatuhkan.
Allah SWT tidak lagi memberikan rahmat dan keberkahan bagi kegiatan perkongsian tersebut. Hal ini tentu saja berlaku pula pada kerja sama dalam bidang lain, seperti dalam bidang politik.
Dalam perspektif syariat Islam, kerja sama dalam bidang politik untuk membangun kekuatan riil, termasuk pemerintahan yang solid dan kuat, haruslah dilandasi dengan amanah dan kejujuran. Jika selama ini dalam bidang politik dikenal istilah 'tidak ada kawan dan lawan sejati, yang ada hanyalah kepentingan abadi', sebenarnya mencerminkan sikap politisi-politisi yang curang, culas, dan khianat, yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi yang sifatnya sesaat dan sementara.
Dari politikus semacam ini tentu tidak banyak diharapkan adanya perubahan yang signifikan ke arah kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.
Bahkan, yang terjadi adalah penggembosan dan penghancuran. Karena itu, masyarakat harus semakin memiliki ketajaman hati dan kekuatan pikiran untuk melihat dengan jernih dan kemudian bisa membedakan antara politisi yang amanah dan politisi yang khianat.
Hanya politikus yang jujur, amanah, cerdas, dan berani yang mampu membangun kerja sama secara lebih bermakna dan lebih efektif. Mudah-mudahan dalam alam keterbukaan ini, dunia politik Indonesia tidak semakin menghidupsuburkan politisi yang culas yang hanya memikirkan dirinya sendiri dengan mengatasnamakan rakyat dan masyarakat. Wallahu a'lam.