REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penggunaan warna yang beraneka ragam menjadi ciri khas benda seni Islam. Efek dari warna-warni tersebut menghadirkan kesan indah dan menawan. Para pengrajin Muslim berabad-abad silam berhasil menemukan teknik dan metode pewarnaan yang cukup maju pada masanya.
Warna memperkaya elemen dekoratif, juga menambah kecemerlangan pada benda yang dibuat. Ada akar kata dalam bahasa Arab untuk mengungkap mozaik warna ini, antara lain, khudrah (kehijauan), akhdar (hijau), atau khudarah (hijau dan jamu).
Bias warna yang terdapat di alam semisal kuning, merah, maupun biru diterapkan sebagai penghias benda-benda seni budaya. Mulai dari keramik, tembikar, kaligrafi, karpet, sampai dekorasi dinding.
Fenomena warna juga merambah khazanah filsafat Islam abad pertengahan. Seorang pujangga Persia, al-Nezami (1141-1217), menyusun sebuah risalah puisi tentang penggunaan tujuh warna simbolis, yakni merah, kuning, hijau, biru, hitam, putih, dan warna kayu cendana.
Puisi ini menceritakan seorang raja yang memiliki tujuh orang putri. Masing-masing ditempatkan di paviliun dengan warna berbeda. Menurut John L Esposito pada Sains-sains Islam, unsur warna itu merepresentasikan tujuh tingkat kehidupan manusia, tujuh takdir manusia, serta tujuh tingkat pada jalan mistis.
Karena itu, tujuh paviliun berwarna tadi menjadi subjek favorit bagi ilustrasi buku di Persia pada abad pertengahan,” papar sejarawan sains itu. Warna-warna cerah juga ditemukan pada sebagian besar karya seni Islam di era tersebut. Keramik di dunia Islam umumnya berbahan baku tanah merah dan dilapisi sapuan warna terang.