REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada abad kesembilan, wilayah Cina bagian barat dikuasai pelbagai wangsa. Menjelang habis kekuasaan Dinasti Tang pada 840, suku bangsa Hui Hus hijrah ke arah barat. Pemimpin utamanya bernama Panglima Pangteqin.
Dia memimpin pengikutnya untuk menyeberangi Sungai Chu untuk sampai ke tanah yang dikuasai suku nomad Garluq. Asimilasi antara suku Hui Hus dan Garluq melahirkan corak kebangsaan baru bernama Karakitai, yang mampu bertahan selama 370 tahun sejak medio abad kesembilan. Suku Karakitai bertahan menghadapi jatuh-bangunnya pelbagai dinasti kekuasaan di Cina sampai abad ke-13.
Satuk Boghra Khan (910-956) merupakan pemimpin suku Karakitai pertama yang memaklumkan diri memeluk Islam. Dia lantas berganti nama menjadi Abdul Karim. Para sejarawan menduga, Satuk menjadi Muslim lantaran pengaruh kebudayaan Dinasti Samanid (819-999), yang berpusat di Samarkand.
Pada 960, Musa, putra sekaligus penerus tahta Satuk, meresmikan Islam sebagai agama negara. Meskipun terhitung suku minoritas, kehadiran Karakitai penting dalam menandakan pengaruh Islam di Cina. Sebab, suku itulah yang mula-mula menaklukkan Yutian (kini Hetian, Daerah Otonomi Xinjiang-Uyghur), Qiemo, dan Ruoqiang, sehingga mengembangkan kebudayaan Islam di Cina barat.
Sampai kini, warisan peradaban Islam masih terpelihara baik di tengah masyarakat Xinjiang. Misalnya, bahasa Uyghur yang memakai aksara Arab atau pusat-pusat kajian Islam dan sufi. Di daerah ini, jasa para salik memang cukup besar dalam dakwah Islam dan kehidupan sosial.
Eksistensi khan-khan Muslim di Cina barat bukanlah ancaman bagi kekaisaran Cina. Bagi setiap kaisar Cina, orang-orang Mongol selalu membuat was-was karena besarnya kekuatan militer mereka. Terbukti, sejak tahun 1219, Mongol di bawah pimpinan Genghis Khan (1162-1227) dan kemudian anak cucunya melakukan ekspansi besar-besaran.
Di puncak kekuasaannya, wilayah yang dapat ditaklukkan Mongol mencakup Asia Tengah, Cina, hingga menyentuh Eropa Timur. Namun, ekspansi ini bukan tanpa perlawanan.
Khan-khan Muslim di Cina barat menyatukan diri dengan orang-orang Arab dan Persia untuk bertempur melawab tentara Kublai Khan. Mereka semua membentuk koalisi wilayah barat. Pertempuran berlangsung secara periodik.
Begitu peperangan usai, para tentara Muslim tidak lantas seluruhnya kembali ke tanah air masing-masing. Beberapa kelompok di antaranya menetap di wilayah tersebut, utamanya di selatan Sungai Yangtze. Para pria lantas menikah dengan perempuan lokal dan membentuk komunitas baru yang tunduk pada kekaisaran Cina.
(bersambung)