REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepulangan Tuan Guru KH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dari Tanah Suci pada 1934 disambut gembira penduduk Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Wajar saja. Mereka menanti kiprah seorang pembelajar genius yang baru saja pulang menuntut ilmu di negeri jauh.
Benar saja, pria yang kala itu berusia 36 tahun itu begitu bersemangat. Dia hendak membangun kesadaran umat Islam di tengah masyarakat melalui pendidikan dan organisasi.
Berdirinya Nahdlatul Wathan mencerminkan besarnya semangat nasionalisme dan anti-penjajahan dalam diri TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Guru Zainuddin Abdul Madjid di Madrasah ash-Shaulatiyah (Makkah) Syaikh Hasan Muhammad al-Masyath. Syekh Hasan sebelumnya mengusulkan dua nama untuk organisasi di Lombok itu, yakni Nahdlat ad-Din al-Islam li al-Wathan dan Nahdlat al-Islam li al-Wathan. Nama Nahdlatul Wathan-lah yang kemudian terpilih berdasarkan hasil ijtihad TGKH Zainuddin Abdul Madjid.
Nahdlatul Wathan (NW) lahir dari perkembangan lebih lanjut Madrasah NW Diniyyah Islamiyyah dan Madrasah Nadlatul Banat Diniyyah Islamiyyah. Tujuan berdirinya dua madrasah itu adalah untuk mengentaskan kebodohan di tengah umat Islam Lombok. TGHK Zainuddin Abdul Madjid agaknya meyakini bahwa pendidikan adalah kunci kemerdekaan bangsa dan umat.
Selain itu, penamaan 'wathan' pada organisasi ini jelas menunjukkan pandangan pendirinya. Orientasi NW bertumpu pada upaya-upaya memadukan agama dan negara. TGHK Zainuddin Abdul Madjid menyebutkan, ada dua makna filosofis sekaligus di balik nama NW, yakni membangun agama dan negara. Dengan begitu, membangkitkan kesadaran beragama berarti kebangkitan bernegara. Demikian pula sebaliknya.
Lebih lanjut, ada lima kesadaran yang tercermin dari NW, yaitu (1) kesadaran beragama (wa'yu al-din), (2) kesadaran akan pentingnya berilmu (wa'yu al-'ilmi), (3) kesadaran berorganisasi (wa'yu an-nidham), (4) kesadaran berkehidupan sosial (wa'yu al-ijtima'), dan (5) kesadaran berbangsa dan bernegara (wa'yu al-wathan). Demikian menurut Fahrurrozi dan Lalu Muhammad Iqbal dalam artikel "Nahdlatul Wathan dan Pembangunan Sosial-Keagamaan di Nusa Tenggara Barat."
'NW' di Jawa
Pendirian NW versi lain sebenarnya ada pula di Pulau Jawa. Itu tak lepas dari ketokohan KH Abdul Wahab Hasbullah (wafat 1971), sosok tokoh Nahdlatul Ulama (NU) asal Jombang, Jawa Timur. Kisah NW versi Jawa ini bertalian dengan Taswirul Afkar.
Menurut sejarawan Muslim, Ahmad Mansur Suryanegara, dalam bukunya Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Taswirul Afkar merupakan embrio NU.
Taswirul Afkar lebih sebagai ajang temu diskusi yang dibentuk KH Abdul Wahab Hasbullah. Anggotanya didominasi kalangan pemuda-pemudi, baik kalangan modernis maupun tradisionalis. Tema diskusi di Taswirul Afkar lebih seputar kesadaran berbangsa.
Tema itu memang sudah berkembang umum sejak berdirinya Sarekat Islam (SI) pada 1905. Khususnya ketika SI dipimpin HOS Tjokroaminoto di Surabaya. Mansur Suryanegara mencatat, inisiatif KH Abdul Wahab Hasbullah dalam membentuk Taswirul Afkar juga terinspirasi dari SI.
Lingkar diskusi ini kian lengkap dengan bergabungnya Mas Mansur. Taswirul Afkar pun berganti nama pada 1916 menjadi Nahdlatul Wathon. Nama itu bermakna 'Kebangkitan Tanah Air.'
Namun, bagi Fahrurrozi dan Iqbal, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk bisa memastikan, bagaimanakah hubungan historis antara NW yang dibidani KH A Wahab Hasbullah dan NW yang didirikan TGKH Zainuddin Abdul Madjid. Sebab, satu sama lain tampak memiliki ciri khas masing-masing.