REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), menjadi tanah kelahiran seorang ulama besar Nusantara, Maulana Tuan Guru Kiai Haji (TGKH) Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Beberapa sumber menyebutnya dengan nama Abu Rauhun wa Raihanun. Sebab, tokoh ini memiliki dua orang putri, Siti Raihun dan Siti Raihanun. Nama lainnya adalah Hamzanwadi, singkatan dari Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah.
Di atas itu semua, namanya semasa kanak-kanak ialah Saggaf. Sejak menetap di Tanah Suci, dia melepas nama kecilnya itu. Kemudian, atas saran ayahnya, dia memilih nama Zainuddin Abdul Madjid. Nama tersebut merujuk pada nama seorang guru di Masjid al-Haram yang masyhur akan keilmuan dan akhlaknya, yakni Syaikh Muhammad Zainuddin Serawak.
TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid berasal dari kalangan bangsawan Selaparang yang tinggal di Kampung Bermi, Pancor, Lombok Timur. Selaparang merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah menguasai Lombok. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid lahir pada 5 Agustus 1898 (17 Rabi'ul Awwal 1316 H) dan wafat 99 tahun kemudian di kota kelahirannya itu. Ayahnya bernama TGH Abdul Madjid, sedangkan ibunya yakni Hajjah Halimah as-Sa`diyah.
Sejak masih berusia dini, Zainuddin Abdul Madjid telah dididik dalam lingkungan yang Islami di Pulau Seribu Masjid--julukan bagi Pulau Lombok. Di masa kanak-kanak, sehari-hari dia mengaji dan mempelajari tafsir kitab suci Alquran dengan bimbingan ayahnya. Saat berusia sembilan tahun, dia meneruskan kebiasaan itu sambil menempuh pendidikan dasar dan menengah di Lombok hingga lulus 12 tahun kemudian. Demikian dikutip dari uraian karya Shahibul Ahyan.
Atas saran ayahnya, Zainuddin Abdul Madjid meneruskan pendidikan agama kepada sejumlah ulama di Lombok. Di antaranya adalah TGH Syarafudin dan TGH Muhammad Said dari Pancor, serta TG Abdullah bin Amaq Dulaji dari Kelayu Lombok Timur. Yusran Khaidir dalam skripsinya untuk UIN Syarif Hidayatullah (2012) memaparkan, Zainuddin Abdul Madjid mendalami ilmu tata bahasa Arab dengan kitab-kitab berbahasa Arab-Melayu selagi belajar kepada mereka.
Sistem yang berlaku saat itu adalah, seorang murid mesti bekerja di sawah milik para guru untuk membiayai pendidikannya. Namun, ayah Zainuddin Abdul Madjid menukar kewajiban itu dengan membayar sebanyak 200 ikat padi (setara dua ton gabah) per tahun kepada mereka. Tujuannya adalah agar Zainuddin Abdul Madjid lebih berkonsentrasi pada pelajarannya daripada menghabiskan waktu di sawah.
Tibalah saatnya Zainuddin Abdul Madjid muda menyelesaikan masa belajarnya kepada para tuan guru itu. Dengan niat untuk mendalami ilmu agama Islam lebih lanjut, dia lantas berangkat ke Tanah Suci. Ayahnya merestui keinginan ini.