REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penggunaan mata uang dinar dan dirham dalam masa Islam mulai dilakukan sebagai alat transaksi dan perdagangan pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Umat Islam pertama kali menggunakan dirham pada tahun 642 M atau satu dasawarsa setelah Rasulullah SAW wafat. Kemudian, Khalifah Umar bin Khattab pun mengganti drachm dengan dirham.
Karena itu, pada masa Khalifah Umar, umat Islam mulai mencetak mata uang sendiri dengan menggunakan teknik penempaan. Sementara itu, koin dirham pertama kali dicetak umat Islam pada tahun 651 M pada era kepemimpinan Usman bin Affan. Dirham pertama itu mencantumkan tulisan bismillah.
Seperti drachm, dirham juga berbentuk tipis. Ukuran diameternya sekitar 29 mm dengan berat antara 2,9-3,0 gram. Dirham lebih ringan dari drachm yang mencapai empat gram. Sejak itulah, tulisan bismilah menjadi salah satu ciri khas koin yang dicetak oleh peradaban Islam.
Selain itu, koin dirham dan dinar yang dicetak umat Islam pada masa keemasan mencantumkan nama penguasa atau amir atau khalifah. Fakta sejarah menunjukkan, kebanyakan kepingan dirham dan dinar yang dicetak pada masa Khulafaurrasyidin mencantumkan tahun hijriyah sebagai penanda waktu koin dirham atau dinar itu dicetak.
Pemerintahan Umar pun telah menetapkan standar koin dirham dan dinar yang akan dibuat. Berdasarkan standar yang telah ditetapkan, berat tujuh dinar setara dengan 10 dirham. Khalifah Umar juga telah menetapkan standar dinar emas, yakni memakai emas dengan kadar 22 karat dengan berat 4,25 gram.
Sedangkan, dirham perak haruslah menggunakan perak murni dengan berat 3,0 gram. Keputusan itu telah menjadi ijmak ulama pada awal Islam dan pada masa para sahabat dan tabiin. Sehingga, menurut syariah, 10 dirham setara dengan tujuh dinar emas. Hasil ijmak itu menjadi adalah pegangan sehingga nilai perbandingan dinar dan dirham bisa tetap sesuai.