REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) Prof Ahmad Satori Ismail menyambut baik nota kesepahaman antara Kementerian Agama (Kemenag), Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Menurut dia, kerja sama tersebut dapat menjadi langkah baik untuk menghasilkan dai-dai berkompetensi keilmuan di siaran televisi.
"Pada hakekatnya saya setuju selama tidak mengekang dan juga untuk meningkatkan kualitas para dai, kualitas mubaligh dari sisi materi dan penyampaian karena ini penting," kata Ahmad Satori Ismail kepada Republika.co.id, Jumat (15/3).
Satori melanjutkan, pengawasan maupun pemantauan yang dilakukan itu jangan sampai membatasi gerak para dai dalam menyampaikan materi dakwahnya. Sebab, Islam, kata dia, adalah agama yang mencakup yang semua aspek kehidupan sehingga pembahasan materinya pun menyangkut berbagai permasalahan di kalangan masyarakat.
"Jangan sampai, misalnya di di masyarakat ada penyakit perjudian, lalu enggak boleh ngomong, nah hal-hal seperti itu yang tidak diperbolehkan. Kan kita ingin menunjukkan Islam yang sebenarnya dalam menyampaikan ajaran-ajaran untuk mengoreksi kondisi masyarakat," papar dia.
Selain itu, jelas Satori, juga untuk memperbaiki kondisi masyarakat dan meningkatkan kualitas iman masyarakat agar lebih dekat kepada Allah SWT. Namun, kalau ujung-ujungnya membatasi, misalnya ada materi-materi yang dilarang disampaikan, maka ini yang tidak baik.
"Kalau arahnya untuk membatasi, ini enggak boleh, ini enggak boleh, khawatir Islam ini tidak sampai kepada pihak-pihak yang membutuhkan secara baik. Sebetulnya sejak dulu sudah diawasi terus, hanya enggak tahu ini yang sekarang tampaknya ingin lebih lagi dalam masalah ceramah," ungkap dia.
Seputar Dai 'Pemula'
Soal dai pemula yang harus mengikuti proses seleksi dan sertifikasi, Satori menilai, kalau seleksi tersebut dalam artian agar orang yang menyampaikan ceramah di hadapan publik betul-betul punya kompetensi, maka itu menjadi hal yang patut dilakukan. Contohnya, dengan menguji bacaan Alquran beserta makhraj hurufnya.
"Karena khawatir misalnya bacaan Alqurannya enggak benar. Dan juga mengerti agama Islam. Maka memang harus disertifikasi dengan benar. Khawatir juga dasar-dasar tentang keislamannya kurang, metodologinya kurang. Jadi wajar-wajar saja kalau hanya keperluan agar semakin meningkatkan kompetensi dai," ungkap dia.
Satori juga mengingatkan bahwa umat Muslim diperintahkan untuk meningkatkan segala kebaikan, termasuk amalan, perekonomian dan seluruh aspek kehidupan. "Jadi diseleksi untuk layak. Kalau bacaannya belum pas, makhraj hurufnya kurang, pengetahuan keislamannya kurang, kan enggak bagus jadinya," ujarnya.
Sementara itu, Ustaz Muhammad Nur Maulana, yang selama ini berdakwah melalui program televisi "Islam Itu Indah", memandang positif poin-poin dari nota kesepahaman tersebut. Selama ini pun dia mengaku telah bekerjasama dengan Kemenag terkait konten-konten yang akan dibawa ke dalam materi dakwah.
"Kalau kita kan sudah bekerjasama dengan Kemenag, jadi semua konten, semuanya, dilaporin (ke Kemenag). Dari dulu program "Islam Itu Indah" sudah bekerjasama dan diawasi oleh Kemenag, KPI, dan semuanya. Meski ada MoU seperti itu kan kami sudah lebih dulu. Justru kami yang minta diawasi. Aman kok," katanya.
Ustaz Maulana mengatakan, yang terpenting dalam berdakwah di antaranya jangan sampai mrngandung SARA dan hal-hal negatif lainnya. "Kalau saya Alhamdulillah yah, kan kita berada di negara tentu ada aturan-aturannya, dan memang kan jangan sampai kita mengandung SARA dan sebagainya," ucap dia.
Terkait dai pemulu yang perlu diuji dan disertifikasi, Ustaz Maulana menilai hal demikian memang harus dilakukan. Sebab, seorang dai itu mewakili umat Muslim sehingga sudah sepatutnya dai-dai yang muncul di hadapan publik punya kompetensi yang mumpuni di bidang keagamaan.
"Semua kan harus begitu. Bagus, kan (dai itu) mewakili umat. Aman enggak ada masalah. Dan mungkin sebenarnya bukan diseleksi, karena kan kalau di pesantren itu ada pelatihan dakwah, aman kok," imbuh dia.