Kamis 14 Mar 2019 09:00 WIB

Masjid Agung Cordoba Benderang di Tengah Gemerlap Peradaban

Masjid Agung Cordoba berdiri atas inisiatif Abdurrahman ad-Dakhil.

Masjid Agung Cordoba, Spanyol.
Foto: en.wikipedia.org
Masjid Agung Cordoba, Spanyol.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masjid Agung Cordoba berdiri atas inisiatif Abdurrahman ad-Dakhil atau Khalifah Abdurrahman I (756-788 M) pada 785 M. Sang Khalifah mendatangkan batu pualam dari Narbonne, Sevilla, dan Konstantinopel. Luas masjid mula-mula hanya 70 meter persegi di atas tanah seluas 5.000 meter.

Proses penyempurnaan pembangunannya memerlukan waktu hingga dua abad. Perbaikan dan perluasan terus dilakukan oleh khalifah-khalifah setelah Abdurrahman I. Bangunan utama masjid dan menara diselesaikan oleh Khalifah Hisyam I, putra Abdurrahman I, yang menduduki tahta kekhalifahan tahun 788 hingga 796 M.

Khalifah Hisyam I digantikan oleh al-Hakam I. Sesaat setelah menduduki kursi kekhalifahan, ia memerintahkan untuk membangun dua serambi besar di bagian arah kiblat, dan selesai pada 796 M. Selanjutnya, Khalifah Abdurrahman II (822-852 M) menambah sebuah ruangan besar dan tiang yang bergaya hypostyle hingga berjumlah 200 tiang.

Pelaksanaan konstruksi pada 832 hingga 848 M itu juga mengagendakan untuk menggeser arah mihrab sedikit ke arah tenggara sehingga tepat menghadap ke arah Ka'bah. Sebelumnya, mihrab Masjid Cordoba menghadap ke arah selatan. Beberapa sejarawan berusaha menjelaskan latar belakang arah mihrab yang cukup nyeleneh itu.

Ada yang berpendapat, Abdurrahman I dalam menentukan arah kiblat berpedoman pada konstruksi Visigoth, yaitu bangunan yang dibangun oleh Kerajaan Visigoth di Spanyol sebelum kedatangan Islam. Pendapat lain berpandangan bahwa ketika itu Abdurrahman I membayangkan dirinya masih berada di Damaskus. Sehingga, arah kiblat masjid disamakan dengan masjid-masjid di kota bekas pusat Dinasti Umayyah tersebut.

Beberapa tahun kemudian, Khalifah Abdullah yang naik tahta pada 888 M, membangun arcade (lori-lori) beratap lengkung yang menghubungkan istana dengan mihrab. Sejak saat itu, terdapat 32 lorong dan sebuah mihrab di bawah atap kubah berbentuk segi delapan.

Pada masa khalifah Abdurrahman III (912-961 M), menara yang dahulu dibangun oleh Khalifah Hisyam I diganti dengan menara baru berbentuk segi empat setinggi 34 meter. Pembangunan menara tersebut di bawah pengawasan al-Muntasir, seorang ahli mosaik dari Constantinopel, sekarang Istanbul Turki. Di samping itu, sang khalifah juga memperluas aula pada sektor barat daya.

Khalifah al-Hakam II (961-976 M) tercatat sebagai inisiator penyempurnaan yang terakhir. Ia menyempurnakan arsitektur masjid dengan memberikan sentuhan monumental, dengan mengubah bentuk ruang shalat di depan mihrab dari ruang terbuka biasa menjadi satu lajur yang membujur. Lebarnya 70 meter dan panjangnya 115 meter dengan jumlah 320 tiang.

Setelah dua abad mengalami perbaikan dan perluasan, jadilah Masjid Cordoba salah satu masterpiece arsitektur klasik Islam terbesar di daratan Eropa. Panjang masjid dari utara sampai selatan sepanjang 175 meter dan lebarnya dari timur ke barat 134 meter. Sedangkan, tingginya mencapai 20 meter. Dahulu masjid ini mampu menampung sebanyak 80.000 jamaah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement