REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada masa inilah, keluarga al-Nahyan mulai menduduki posisi paling utama. Seiring dengan meningkatnya pendapatan dari industri minyak bumi, Syekh Zayed bin Sultan al-Nahyan gencar membangun macam-macam infrastruktur publik. Misalnya, sekolah, perumahan, rumah sakit, jalan-jalan, dan sebagainya. Sang syekh sendiri mulai memimpin Abu Dhabi sejak 6 Agustus 1966
Baca juga: Sejarah Negeri Uni Emirat Arab (2)
Kebijakan ini dapat dikatakan meneruskan visi yang diteguhkan Syekh Rasyid bin Said al-Maktoum, penguasa de facto Dubai sejak 1939, yang ingin agar uang dari industri “emas hitam” dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat.
Pada 1970-an, Inggris Raya mulai menarik pengaruhnya dari Abu Dhabi dan sekitarnya. Sementara itu, para emirat sudah mulai menjalin komunikasi dan puncaknya pada 2 Desember 1971 keenam pemimpin emirat tersebut menyepakati terbentuknya federasi, yang kelak dikenal sebagai Uni Emirat Arab (UEA).
Presiden pertamanya adalah Syekh Zayid bin Sultan al-Nahyan, sedangkan Syekh Rasyid sebagai wakil presiden.
Baca juga: Sejarah Negeri Uni Emirat Arab (1)
Kiranya, pantas bila Syekh Zayid digelari Bapak Bangsa bagi masyarakat UEA. Pada 6 Agustus 1966, sosok yang lahir pada 1918 tersebut menggantikan kakaknya sebagai pemimpin Abu Dhabi. Visi utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, pandangannya tidak terbatas pada emiratnya belaka, tetapi juga menguatkan hubunga dengan emirat-emirat tetangga.
Oleh karena itu, ketika Inggris mengumumkan niat untuk mundur dari Teluk Persia pada akhir 1971, Syekh Zayid gerak cepat untuk berdialog dengan emir-emir lainnya. Upayanya berbuah manis dengan terbentuknya UEA. Dia pun ditunjuk sebagai presiden pertamanya.
Sebagai negara baru, UEA tentu saja mesti berjuang dalam mempertahankan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik dalam negeri. Padahal, kawasan Teluk Persia masih bergelora dengan konflik. Malahan, UEA lahir ketika pasukan Iran mulai memasuki daerah Ras al-Khaimah dan sebagian Sharjah. Atas dasar itu, banyak pengamat yang menaruh pesimisme terhadap masa depan UEA.
Suara-suara muram itu, bagaimanapun, tidak menyurutkan langkah Syekh Zayid untuk memperjuangkan persatuan dan kemajuan negerinya.
Salah satu keyakinan dasar dirinya adalah bahwa hasil dari ekspor minyak bumi harus dimanfaatkan bagi kesejahteraan rakyat. Selain itu, dia juga ingin agar setiap warga negara—baik itu laki-laki, perempuan, tua dan terutama muda—saling tolong menolong untuk berpartisipasi membangun UEA. Dengan komitmen dan kerja nyatanya, sosok yang wafat pada 2 November 2004 itu berkali-kali dipercaya menjadi presiden oleh rakyat seluruh emirat.
Pada abad ke-21, Syekh Zayid ikut mengupayakan dunia yang damai dan bebas dari ancaman terorisme global. Dia percaya bahwa tidak ada tempat untuk terorisme di dalam Islam. Di bawah kepemimpinannya, UEA ikut berkontribusi dalam mendukung hal tersebut.
Baca juga: Sejarah Negeri Uni Emirat Arab (4)