REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah ayahnya (Sultan Mahmud Abdul Jalil Syah) wafat pada 1760, Tengku Ismail naik takhta dengan gelar Sultan Ismail Abdul Jalil Syah. Kompeni/Belanda yang tidak menyukai raja baru ini segera mencampuri urusan internal Siak. Caranya dengan memperalat Tengku Alamuddin yang berambisi merebut posisi raja Siak dari keponakannya itu.
Baca juga: Sejarah Kesultanan Siak Sri Inderapura (3)
Bila sampai berhasil rencana penggulingan kekuasaan ini, Belanda dapat mendirikan lagi benteng di Pulau Guntung. Ternyata, rencana itu berhasil. Sultan Ismail memilih untuk menyerah terhadap pamannya demi menghindari perang saudara yang berlarut-larut.
Dia pun pergi ke Pelalawan dan kemudian Langkat. Sesampainya di Siantan, Sultan Ismail menggalang dukungan dari orang-orang laut sehingga dapat mengendalikan perdagangan timah di Bangka. Setelah pelbagai persiapan perang, Sultan Ismail berhasil merebut kembali takhta dari Tengku Alamuddin pada 1779.
Pemerintahan Sultan Ismail hanya berjalan selama dua tahun. Kedudukan raja Siak diberikan kepada putranya, Yahya Abdul Jalil Muzzafar Syah. Saat berkuasa, Sultan Yahya memindahkan ibu kota kerajaan ke Mempura. Namun, intrik politik kembali terjadi untuk menjatuhkan kekuasaan Sultan Yahya. Akibatnya, pemimpin Siak ini menderita sakit keras dan wafat pada 1784.
Tampuk tertinggi Kesultanan Siak selanjutnya ada pada Tengku Udo alias Syarif Ali. Pada periode inilah berlangsung perubahan nama kerajaan menjadi Kesultanan Siak Sri Inderapura. Dia juga mendirikan istana di Koto Tinggi, memperkuat militer, dan berupaya menyatukan raja-raja Melayu di pesisir timur Pulau Sumatra. Hasilnya, sebanyak 12 negeri berhasil dikumpulkannya dalam satu aliansi.
Terimbas Hegemoni Belanda
Sepanjang abad ke-18, Kesultanan Siak telah menjadi kekuatan yang berpengaruh besar di perairan Selat Malaka. Sejak 1780, kerajaan ini berhasil menaklukkan Langkat, Deli, dan Serdang. Meskipun begitu, campur tangan Belanda berimbas besar pada goncangan politik di internal istana. Kadangkala, raja-raja setempat mesti berkompromi agar tetap mampu mengonsolidasi eksistensi negerinya.
Siak menganggap Belanda sebagai sekutu untuk menaklukkan beberapa daerah. Sebagai contoh, pada 1784 kesultanan ini menjalin kerja sama dengan Kompeni agar dapat menundukkan Selangor atau pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di Pulau Penyengat. Akan tetapi, dampak buruk dari ikatan perjanjian dengan Kompeni lebih dirasakan Siak.
Satu per satu wilayah taklukan lepas kendali, semisal Deli, Asahan, Langkat, dan Indragiri. Malahan, Kompeni berada di belakang pengukuhan kembali Yang Dipertuan Muda di Pulau Penyengat serta membantu pembentukan Kesultanan Lingga.