REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Raja Kecil memiliki dua orang putra yang hidup hingga dewasa, yakni Tengku Alamuddin dan Tengku Buang. Di masa tuanya, dia melihat anak-anaknya itu saling berebut hak sebagai penerus takhta. Konflik itu berubah menjadi perang terbuka. Tengku Buang pada akhirnya menang. Tak lama kemudian, Raja Kecil meninggal pada 1746 lantaran sakit.
Baca juga: Sejarah Kesultanan Siak Sri Inderapura (2)
Sejak menjadi raja Siak, Tengku Buwang bergelar Sultan Mahmud Abdul Jalil Syah. Untuk menyudahi perseteruan dengan saudara kandungnya, dia mengangkat putra Tengku Alamuddin sebagai panglima. Empat tahun kemudian, pusat pemerintahan dipindahkannya ke Mempura yang terletak lebih ke pedalaman.
Kesultanan Siak mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Hal ini ditunjang aktivitas perdagangan internasional yang selalu ramai di Selat Malaka. Pada gilirannya, perekonomian di sekitar Sungai Siak juga kian maju. Sungai tersebut di zaman kesultanan merupakan yang terdalam se-Nusantara.
Dengan kedalaman hingga 30 meter, kapal-kapal besar dapat berlalu sehingga memudahkan laju distribusi barang dari Selat Malaka ke pedalaman, atau sebaliknya. Akan tetapi, kondisinya sekarang mengalami pendangkalan hingga kedalamannya hanya sekira 18 meter.
Sementara Kesultanan Siak terus berkembang, Kompeni mengukuhkan pengaruhnya di negeri-negeri Melayu Sumatra. Pada 1752, Sultan Mahmud Abdul Jalil Syah menjalin hubungan dengan Belanda. Bangsa Eropa itu diizinkan untuk mendirikan benteng di sekitar Pulau Guntung. Namun, pada akhirnya Kompeni merusak perekonomian Sungai Siak dengan ambisi monopoli. Bahkan, pihak asing ini berani memungut pajak dari para pedagang yang melintasi perairan Siak.
Satu bulan lamanya Sultan Mahmud Abdul Jalil Syah menggempur benteng Kompeni di Pulau Guntung. Upayanya menemui kendala karena persenjataan Belanda jauh lebih unggul. Akhirnya, kesepakatan damai disetujui antara kedua belah pihak pada 1760.
Sampai ujung masa kepemimpinannya, Sultan Mahmud Abdul Jalil Syah tidak juga mampu menumpas Belanda dari wilayah Siak. Untuk itu, dia mewariskan semangat perlawanan kepada anaknya, Tengku Ismail. Sosok yang kemudian menjadi raja Siak ini diingatkan agar tidak pernah memancing timbulnya perang saudara dan setia berjuang melawan penjajahan Belanda.