REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika mulai tersiar, risalah Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW tidak mengajukan kalender (baru). Namun, Alquran telah menyinggung beberapa bulan sebagai aspek penanggalan mayoritas penduduk Arab masa itu.
Misalnya, surah at-Taubah ayat 36 yang menegaskan “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah 12 bulan.” Ayat yang sama menerangkan adanya empat bulan haram yakni--sebagaimana penjelasan Rasulullah SAW--Dzulkaidah, Dzulhijah, Muharram, dan Rajab.
Nabi Muhammad SAW bersabda, sebagaimana diriwayatkan Bukhari dan Muslim, “Sesungguhnya zaman ini telah berjalan, sebagaimana perjalanan awalnya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, yang mana satu tahun ada 12 bulan. Di antaranya, ada empat bulan haram, tiga bulan yang (letaknya) berurutan, yaitu Dzulkaidah, Dzulhijah, dan Muharam. Lalu, Rajab yang berada di antara Jumadil (Akhir) dan Syaban.”
Masyarakat Arab pra-Islam (jahiliyah) sudah mengetahui bulan-bulan yang di dalamnya tidak boleh (haram) melakukan perang. Akan tetapi, ketentuan haram itu tidak diindahkan para pemuka musyrikin.
Bahkan, mereka tidak jarang memodifikasinya demi kepentingan pribadi dan golongan. Alquran menyinggung perangai buruk mereka itu di dalam surah at-Taubah ayat 37.
Sebagai contoh, kaum musyrikin hendak berperang ketika Muharram. Maka mereka sengaja menukar letak bulan haram itu ke bulan berikutnya, Safar.
Akibatnya, sifat bulan-bulan berikutnya bergeser sehingga timbul kekacauan. Hilang pula penghormatan terhadap bulan-bulan haram yang semestinya. Alih-alih malu, mereka justru bangga dengan itu.
“(Oleh setan) dijadikan terasa indah bagi mereka perbuatan-perbuatan buruk mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir,” demikian terjemahan bagian akhir ayat tersebut.
Menurut Abu Rayhan al-Biruni (973-1048), bangsa Arab Kuno menganut sistem 12 bulan, tetapi nama-nama bulannya berbeda daripada zaman jahiliyah atau era Rasulullah SAW. Segenap ke-12 bulan itu diawali bulan al-Mu’tamir—yang sejajar dengan Safar karena itulah yang dianggap sebagai bulan pertama.
Selanjutnya, Najir, Khawwan, Bussan, Hantam, Zaba’, al-Asamm, Adil, Nafik, Waghl, Huwa’, dan Burak.
Semua itu sudah ditinggalkan generasi-generasi Arab yang muncul sesudahnya. Mereka mengubah nama ke-12 bulan agar berpatokan dengan adat istiadat dan iklim cuaca.
Memang, sistem penanggalan Arab memakai metode bulan (lunar calendar) yang kurang menghiraukan musim. Namun, konvensi tentangnya dalam konteks budaya Arab justru menunjukkan kesadaran musim di dalam penamaan beberapa bulan (months). Khususnya, nama bulan yang disertai imbuhan “awal” dan “akhir”.