Kamis 28 Feb 2019 20:30 WIB

Biografi Syekh Muhammad al-Ghazali (3)

Syekh Muhammad al-Ghazali adalah gurunya Syekh Yusuf al-Qardhawi.

Syekh Muhammad al-Ghazali
Foto: tangkapan layar google
Syekh Muhammad al-Ghazali

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Syekh Yusuf al-Qardhawi memaparkan bahwa gurunya, Syekh Muhammad al-Ghazali, telah membaktikan hidup demi Islam. Tokoh yang wafat pada 1996 itu diketahui berpandangan, Islam sedang menghadapi dua musuh, yakni dari luar dan dalam.

Banyak kekuatan global, menurut dia, bersatu padu untuk melemahkan jalan dakwah. Mereka antara lain golongan zionis, ekstremis, dan komunis. Bagaimanapun, kelompok-kelompok yang melemahkan kepaduan dakwah juga datang dari internal umat.

Baca Juga

Mereka itulah yang tidak mengetahui hakikat Islam, tetapi mengklaim diri sebagai ahli agama. Mereka diistilahkan Syekh Muhammad al-Ghazali sebagai “kelompok pemecah-belah”. Sebab, mereka gemar merusak persatuan umat Islam dari dalam, yakni dengan mengungkit hal-hal sepele. Umpamanya, khilafiyah fiqih, seakan-akan itulah persoalan yang paling urgen. Mereka sesungguhnya menjadi penghambat utama kebangkitan Islam.

Sikap kritis Syekh al-Ghazali juga menyasar kalangan ulama yang menyeberang, yakni berfatwa di luar bidang keahlian. Dia mencontohkan, “Banyak ahli hadits yang berubah menjadi ahli fiqih, meskipun sebenarnya mereka kurang ahli dibidang itu. Mereka berusaha menjadi politikus yang ingin mengubah masyarakat dan negara seperti yang mereka dapatkan dari riwayat-riwayat yang mereka miliki.”

Syekh Yusuf menggambarkan gurunya itu bagaikan ombak besar yang tak terbendung kala tampil mendebat lawan-lawannya. Dia tidak pernah ragu untuk memisahkan kebenaran dari kebatilan.

Tidak jarang Syekh Muhammad mengecam para penceramah yang lantang bersuara, tetapi tidak mengetahui prinsip-prinsip umum Islam. Misalnya, dalam soal kaidah tata negara dan ekonomi syariah. Ketegasannya juga terasa di dalam setiap tulisannya.

Syekh Muhammad al-Ghazali, menurut muridnya itu, bak seorang tentara yang selalu siap sedia. Pena di tangannya seakan-akan berubah menjadi pedang yang tajam memberantas kebodohan.

Dialah pemikir bebas yang selalu mencontohkan keseimbangan (al-mizan), yakni antara akal dan sumber agama (naql). Tidak pernah dirinya merasa rendah di hadapan manusia, sebab meyakini sepenuh hati hanya Allah satu-satunya penguasa.

“Saya tidak suka menguasai atau dikuasai orang,” katanya suatu ketika, kenang Syekh Yusuf.

Syekh Muhammad al-Ghazali selalu mengajarkan kepada murid-muridnya untuk jernih berpikir. Dengan begitu, seseorang akan mencapai situasi moderat sehingga tidak menolak sumber-sumber pengetahuan sekalipun berasal dari kaum non-Muslim.

Maka dari itu, dia tidak menolak gagasan tentang kemajuan dan modernisme. Malahan, diajaknya generasi penerus untuk berpacu mengejar ketertinggalan dari orang-orang asing tanpa meninggalkan jati diri keislaman. “Mengapa kalian tidak menuntut (ilmu) kemajuan sambil tetap menjadi Islam?” katanya.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement