Di luar ilmu-ilmu agama, KH Abbas juga mengajarkan seni bela diri kepada mereka. Hal ini kelak menjadi modal penting bagi para santri untuk ikut mempertahankan kemerdekaan negeri dari penjajah.
Pondok Pesantren Buntet pun menjadi basis penting laskar-laskar jihad, semisal barisan Hizbullah, Sabilillah, atau PETA (Pembela Tanah Air), terutama ketika era setelah Proklamasi 1945. Di luar itu, dia juga membentuk dua regu laskar santri, yakni Asybal dan Athfal.
KH Abbas Buntet dikenal luas sebagai pejuang yang berani. Pada zaman revolusi, Belanda (NICA) yang membonceng Sekutu ingin menjajah kembali Indonesia.
Sementara itu, laskar-laskar Indonesia sibuk melucuti persenjataan Jepang sebagai persiapan tempur. Di Surabaya, Sekutu semakin arogan dengan memaksa penduduk untuk menyerahkan senjata dan menyerah di tempat. Ultimatum ini ditolak mentah-mentah rakyat seluruhnya. Mereka lebih memilih mati berjuang daripada ditindas kembali.
Menjelang pertempuran 10 November 1945 itu, di Cirebon KH Abbas juga sudah mulai memobilisasi massa, terutama dari kalangan santri. Dia memberikan komando untuk ikut dalam barisan perjuangan rakyat Indonesia di Surabaya. Dia sendiri ikut terjun dalam kancah perang besar ini. Orator ulung, Bung Tomo, bisa dikatakan anak didiknya dalam semangat perjuangan.
Ditilik ke belakang, peristiwa historis tersebut merupakan efek dari Resolusi Jihad yang digagas para kiai sebelumnya dalam pertemuan Nahdlatul Ulama di Surabaya, pada Oktober 1945. KH Abbas juga turut menghadiri acara yang merumuskan fatwa jihad tersebut.