REPUBLIKA.CO.ID, Kiprah Salahuddin al-Ayyubi, pendiri Dinasti Ayyubiyah, dalam sejarah peradaban Islam tak terbantahkan. Berkat kedigdayaannyalah, Masjid al-Aqsha dapat direbut kembali dari kekuasaan Tentara Salib.
Tak hanya kemampuan militernya yang tersohor, Salahuddin, dikenal sebagai pribadi yang berkarakter. Pengakuan itu tidak hanya muncul dari kalangan Islam, tetapi juga disampaikan banyak cendekiawan dan orientalis Barat.
Di antara orientalis yang memuji Salahuddin adalah Edward Gibbon dalam bukunya The History of The Decline and Fall of Roman Empire. Dia menulis sebagai berikut:
”Spirit Salahuddin sangat ambisius namun menjauhi tipu daya kenikmatan yang lebih berbahaya dari popularitas dan kekuasaan. Baju yang dia kenakan adalah wol yang sangat kasar. Air putih adalah minumannya satu-satunya. Sikap zuhudnya adalah teladan dalam menahan diri. Keimanan dan perilakunya sebagai Muslim sangat kental.
Dia selalu bersedih, kesibukannya menjaga agama dalam medan perang mengalihkan waktunya dari berhaji. Dia sosok yang tak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Dia kerap membaca Alquran di atas kudanya sesaat sebelum berperang melawan musuh. Ini adalah bukti keberanian dan ketakwaannya.”
Sementara Wil Durrant dalam The Story of Civilization mencatat demikian:
”Dia memberikan layanan sebaik-baiknya untuk rakyat dan mendengarkan langsung keluhan mereka. Nilai harta yang dia miliki tak lebih dari harga pasir dan tidak mewariskan harta yang banyak di brangkasnya kecuali satu dinar. Dia meninggalkan wasiat untuk putranya, berupa nasihat yang tak mampu ditandingi satupun ayat dari filsafat Nasrani.”