REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Soekarno, Presiden Indonesia pertama, pernah berdebat dengan wakilnya, Mohammad Hatta. Soekarno menginginkan Istiqlal dibangun di jalan Taman Wijaya Kusuma, Pasar Baru, Sawah Besar, Jakarta Pusat (tempat Istiqlal sekarang). Sedangkan Hatta mengusulkan pembangunan Istiqlal berada di Jalan MH Thamrin, Menteng, Jakarta Pusat (di kawasan Hotel Indonesia saat ini).
"Soekarno waktu itu banyak yang nentang. Soekarno menunjuk sendiri tempat ini (Masjid Istiqlal sekarang). Bung Hatta tidak setuju dan mempertanyakan tempat tersebut. Bung Hatta mengusulkan lokasi Istiqlal di kawasan Hotel Indonesia. Alasannya menurut Bung Hatta, tempat itu banyak penduduk sehingga lebih bermanfaat," kata Abu Hurairah Abdul Salam, Kepala Bagian Protokol dan Dokumentasi Masjid Istiqlal, Jumat, (22/2).
Soekarno memang berperan dalam menentukan lokasi Masjid Istiqlal. Sedangkan tujuan pembangunan Istiqlal, Abu Hurairah menyebut ada tiga alasan. Pertama, untuk mewadahi umat Islam sebagai pusat kegiatan. Kedua, sebagai simbol kemerdekaan. Ketiga, sebagai pusat toleransi.
"Soekarno berperan dalam menentukan lokasi, meskipun pembangunannya dilakukan bersama-sama. Awalnya, umat Islam belum punya masjid besar, jadi Istiqlal diharapkan jadi pusat kegiatan umat Islam. Selain itu, Masjid ini dinamakan Istiqlal, karena Istiqlal adalah bahasa Arab yang artinya merdeka. Sehingga kita membangun ini sebagai rasa syukur atas nikmat kemerdekaan. Tak lupa, bahwa Istiqlal ditujukan sebagai pusat toleransi," kata Abu.
Menurut Abu, sapaan akrab Abu Hurairah. Pembangunan Istiqlal di tanah yang sekarang ini dianggap tepat. Hal itu sejalan dengan model penataan masjid di kota-kota tua. Masjid berada di sekitar alun-alun, pusat kekuasaan, dan pasar. Sebagaimana yang bisa ditemukan di Yogyakarta atau Demak.
"Namanya masjid negara, ia berada tidak jauh dari kekuasaan (istana negata), Alun-alun (Monas), dan pasar (Pasar Baru). Coba lihat konsep masjid di kota-kota tua, Yogyakarta atau Demak. Pasti begitu: masjid, alun-alun, pasar, kantor bupati/gubernur," kata Abu.
Abu menambahkan, bahwa lokasi Masjid Istiqlal saat ini, merupakan bekas Taman Wilhelmina. Kawasan itu merupakan benteng Belanda. Salah satu bentengnya disebut sabagai "Gedung Tanah." Gedung itu berfungsi sebagai tempat persembunyian ketika perang. Abu menjelaskan bahwa penyebutan gedung tanah disebabkan bangunan itu memiliki banyak ruang bawah tanah.
Masjid Istiqlal dianggap sebagai pusat toleransi di Indonesia. Pasalnya ia bersebelahan langsung dengan gereja Katedral. Tak hanya itu, bahwa arsitek Istiqlal didesain tanpa pintu dan jendela. Sehingga memberikan kesan terbuka bagi siapa saja.
Saat ini Istiqlal memang terbuka untuk umum. Siapapun dapat berkunjung dan masuk, tanpa dibedakan suku, ras, maupun agamanya. Menurut ketua Badan Pelaksana Pengelola Masjid Istiqlal (BPPMI), Asep Saepudin, dalam satu hari Istiqlal dikunjungi oleh ribuan orang, termasuk sekitar 400 wisatawan mancanegara.