REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para pemilik hotel pada era keemasan Islam selalu memiliki juru masak terbaik yang dibayar dengan upah sepadan. Seperti halnya kamar-kamar tidur, dapur menjadi tolok ukur reputasi suatu funduq--sebutan untuk hotel pada masa itu.
Terlebih lagi bagi hotel-hotel yang memang bertujuan komersial. Hidangan yang tersaji kepada para pelanggan mesti sempurna dan menunjukkan cita rasa khas setiap daerah. Tentu saja bahan baku yang dipakai terjamin halal.
Apa yang kini secara unik dinamakan “hotel syariah” merupakan hal yang sangat lumrah ditemui pada masa itu.
Di luar aspek tanggung jawab sosial negara, funduq juga berkaitan dengan ranah bisnis. Dia menjadi tempat menginap para saudagar asing yang mengunjungi negeri-negeri Islam. Raghib as-Sirjani dalam buku Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia (2011), mengambil keterangan dari sejarawan Muslim era Dinasti Mamluk, al-Maqrizi.
Penulis klasik itu mengarang Kitāb al-Sulūk li Ma'rifat Duwal al-Mulūk. Dijelaskannya, ada hotel-hotel di Mesir yang memang dikhususkan bagi para saudagar Italia dan Swiss, serta bangsa-bangsa lainnya asal Eropa.
Segenap fasilitas umum tersebut mematuhi syariat—semisal tidak menjual minuman memabukkan. Kendati demikian, kualitas pelayanannya tidak berkurang sama sekali.
Olivia Remie Constable dalam Housing the Stranger in the Mediterranean World (2003) mengutip catatan pengelana Muslim dari abad ke-10, Ibn Hawqal. Saat mengunjungi Nishapur (Iran) pada 970, disaksikannya bahwa kota tersebut memiliki banyak funduq yang diperuntukkan bagi kalangan saudagar dari mancanegara.
Rata-rata, di dalamnya dilengkapi ruangan khusus untuk transaksi atau perundingan bisnis. Barangkali, ruangan itu setara balai sidang atau aula (hall) hotel zaman sekarang.
Tidak sedikit pula funduq yang dikhususkan bagi pedagang komoditas tertentu. Hal ini mengingatkan kita pada catatan al-Maqrizi yang menyebutkan adanya Hotel Tharanthay di Kairo yang hanya dihuni para penjual minyak wangi asal Suriah.