REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam memberikan perhatian khusus pada tamu yang secara ekonomi serba kekurangan. Merujuk pada surah at-Taubah ayat 60, ibnu sabil termasuk golongan yang berhak menerima zakat.
Kalangan ulama mendeskripsikannya sebagai "orang yang kehabisan bekal ketika dalam perjalanan yang tidak bertujuan maksiat." Tidak hanya bekal, tetapi juga tempat tinggal sementara.
Pada zaman Rasulullah SAW, terdapat suatu pelataran Masjid Nabawi yang disebut sebagai Suffah (harfiah: ‘tempat berteduh’). Penghuninya (ahl as-suffah) merupakan para tamu kaum Muslimin yang tidak menetap dengan keluarga dan juga tidak memiliki harta memadai.
Beberapa orang Muhajirin yang tidak mendapatkan rumah di Madinah kerap menghabiskan malam di sana. Nabi Muhammad SAW senang duduk-duduk bersama mereka di kala luang. Jumlah ahl as-suffah tidak statis karena sering ada yang datang dan pergi, tetapi biasanya lebih dari 50 orang.
Menurut Akram Dhiya al-Umuri dalam Shahih Sirah Nabawiyah, ahl as-suffah menyibukkan diri dalam mencari ilmu dan beribadah di Masjid Nabawi. Oleh karena itu, banyak di antaranya yang menjadi pakar lantaran menghafal begitu banyak hadits. Contohnya adalah Abu Hurairah.
Ahl as-suffah juga terlibat aktif dalam kegiatan sosial dan jihad. “Mereka adalah ahli ibadah pada malam hari dan prajurit yang gagah berani pada siang hari,” tegas Dr Akram.
Mereka juga hidup bersahaja. Kurma yang menjadi makanan sehari-hari sering diperoleh mereka dari sedekah. Rasulullah SAW selalu menyediakan setangkup kurma untuk tiap dua orang ahl as-suffah setiap hari.
Tidak jarang, beliau SAW mengundang mereka untuk makan bersama di rumahnya, meski dengan hidangan seadanya. Menurut riwayat Abu Hurairah, Nabi SAW jika menerima sedekah, akan mengirimkannya seluruhnya kepada ahl as-suffah. Apabila menerima hadiah, beliau SAW akan mengambil sebagian, sedangkan sebagian lainnya diberikan kepada mereka.