Ahad 17 Feb 2019 16:09 WIB

Syekh Abdur Rauf as-Singkili, Guru Ulama-ulama Nusantara (3)

Nama lainnya, Tengku Syiah Kuala, lalu diabadikan jadi lembaga pendidikan di Aceh

Lukisan Syekh Abdul Rauf Al-Singkili.
Foto: Wordpress.com
Lukisan Syekh Abdul Rauf Al-Singkili.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di antara karya besar Syekh Abdur Rauf as-Singkili adalah Tarjuman al-Mustafid. Itulah terjemahan dan tafsir Alquran pertama dalam bahasa Melayu.

Kitab tersebut banyak dipengaruhi karya Abdullah bin Umar bin Muhammad Syairazi al-Baidawi (meninggal 1286), yakni Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, yang dalam bahasa Arab dan memang sudah legendaris di penjuru dunia.

Toh buah tangan syekh asal Aceh itu juga tidak kalah terkenal. Sebagai contoh, Tarjuman al-Mustafid diketahui pernah terbit pada 1884/1885 dalam edisi dua jilid di Istanbul, Turki.

Karya-karyanya yang lain juga menjadi bacaan penting, baik oleh alim ulama maupun sultan-sultan Melayu. Di samping itu, mubaligh kelahiran Singkel ini juga kerap memanfaatkan sastra sebagai medium penyebaran gagasan sufistik. Sebuah syair karyanya yang terkenal adalah Syair Ma’rifat yang salinan atasnya ditulis di Bukittinggi pada 1859.

Syekh Abdur Rauf memiliki banyak murid sekembalinya dari Tanah Suci. Ulama Aceh ini bahkan menjadi rujukan penting para mubaligh yang merintis dakwah ke berbagai daerah di Nusantara.

Hal itu sejalan dengan sifat strategis Aceh sebagai poros peradaban Islam di Kepulauan Indonesia. Pada waktu itu, jelas Liaw Yock Fang dalam Sejarah Kesusastraan Melayu Kelasik (2011), Aceh merupakan tempat persinggahan para calon jamaah haji asal Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lain. Ketika tinggal di Aceh, tidak sedikit dari mereka yang menyempatkan diri untuk menimba ilmu-ilmu agama kepada ulama setempat.

 

Poros Sejumlah ulama Nusantara

Salah seorang murid Syekh Abdur Rauf adalah Syekh Burhanudin Ulakan (1646-1692). Dia condong mengikuti gurunya dalam bertarekat Syatariyah. Setelah belajar di Aceh, mubaligh asal Pariaman itu berangkat ke Tanah Suci. Sepulangnya dari Haramain, dia mendirikan surau Syatariyah di Ulakan. Jasanya yang paling dikenang adalah mendakwahkan Islam kepada kaum bangsawan Kerajaan Pagaruyung.

Murid lainnya dari Syekh Abdur Rauf adalah Syekh Abdulmuhyi. Putuhena menyebutkan, dai asal Jawa Barat itu pernah bermukim di Aceh, untuk kemudian berangkat ke Tanah Suci untuk mendalami ilmu-ilmu agama. Sempat pula dia berkunjung ke Baghdad (Irak) untuk berziarah pada makam Syekh Abdul Qadir Jailani (1077-1166). Sepulangnya dari rihlah keilmuan itu, Abdulmuhyi menyebarkan dakwah Islam, termasuk tarekat Syatariyah, di Jawa Barat.

Tokoh berikutnya yang pernah menimba ilmu dari Syekh Abdur Rauf as-Singkili adalah Abdulmalik bin Abdullah (1678-1736) dan Dawud al-Jawi ar-Rumi. Sosok yang pertama berasal dari Semenanjung Melayu. Sebagaimana jamaknya ulama-ulama perantau, dia juga berangkat ke Tanah Suci untuk melaksanakan ibadah haji sekaligus pengembaraan keilmuan. Kembali ke Tanah Air, kiprahnya terutama pada bidang syariat dan fiqih. Adapun Dawud al-Jawi diduga merupakan keturunan Turki. Putuhena mengungkapkan, dialah khalifah utama dari tarekat Syatariyah sepeninggalan Syekh Abdur Rauf. 

 

Karya-karya Sang Ulama

Sepanjang hayatnya, Syekh Abdur Rauf telah menghasilkan puluhan karya tulis. Di samping Tarjuman al-Mustafid, ada pula buku-buku lain yang ditulisnya berkenaan dengan bidang fiqih, hadits, tauhid, dan tasawuf.

Semuanya tidak hanya berbahasa Melayu, melainkan juga Arab. Di antara karya-karyanya adalah, Syarh Hadits Arba’in Imam An-Nawawi, yang ditulisnya atas permintaan elite Kesultanan Aceh.

Selanjutnya, Mawa’iz al-Badi yang berisi nasihat-nasihat akhlak seorang Muslim. Sementara itu, Daqaiq al-Hurf, Tanbih al-Masyi, dan Kifayat al-Muhtajin ila Masyrah al- Muwahhidin al-Qailin bi Wahdatil Wujud membahas gagasan-gagasan dalam bidang tasawuf.

Pada 1105 Hijriah atau 1693 Masehi, Syekh Abdur Rauf menghembuskan nafas terakhir. Jasadnya dimakamkan di dekat muara sungai Aceh. Tepatnya pada samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, Deyah Raya, Kecamatan Kuala, sekira 15 kilometer dari Banda Aceh.

Dalam bahasa setempat, daerah tersebut dinamakan sebagai kuala. Oleh karena itu, sosok ulama-salik yang wafat dalam usia 73 tahun itu secara anumerta digelari Tengku Syiah Kuala. Nama itu kelak diabadikan menjadi perguruan tinggi tertua di Aceh, Universitas Syiah Kuala.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement