REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 1642, Abdur Rauf berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji sekaligus meneruskan pengembaraan intelektualnya. Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia (2007) menyebutkan, ulama Aceh tersebut memulai rihlah-nya menuntut ilmu sejak di Dhuha, sebuah kota pesisir di Teluk Persia.
Di sana, salah seorang gurunya bernama Abdul Qadir al-Mawrir. Selanjutnya, Abdur Rauf pergi ke Yaman untuk menimba ilmu di dua lembaga pendidikan terpenting saat itu, Bait al-Faqih dan Zabid.
Beberapa gurunya di Bait al-Faqih adalah pakar hadits dan fiqih Ibrahim bin Abdullah bin Ja’man dan Ishak bin Muhammad bin Ja’man. Adapun di Zabid, alim ulama yang memengaruhinya antara lain Abdurrahim bin ash-Shiddiq al-Khas, Amin bin ash-Shiddiq al-Mizjaji, dan Abdullah bin Muhammad al-Adnan.
Abdur Rauf juga menunjukkan minatnya mempelajari tasawuf. Untuk mendalami tarekat Naqsyabandiyah, dia berguru pada Muhammad ‘Abd al-Baqi al-Mizjaji.
Perjalanannya berlanjut ke Mekkah. Usai berhaji, dia pun berguru pada Badruddin al-Lahuri, Abdullah al-Lahuri, dan Ali bin Abdul Qadir ath-Thabari di kota kelahiran Rasulullah SAW itu.
Tempat selanjutnya adalah Madinah. Di sini, dia menimba ilmu dari Ibrahim al-Kurani dan Ahmad al-Qusyasyi, yang darinya Abdur Rauf memeroleh gelar khalifa tarekat Syatariyah dan Qadiriyah.
Sebutan itu adalah semacam pengakuan tanda selesai pelajarannya. Di Haramain, puncak kariernya adalah menjadi guru yang membimbing banyak murid dari beragam bangsa.
Periode ini juga dimanfaatkannya untuk menulis banyak kitab. Seiring dengan reputasinya yang kian menanjak, jumlah muridnya kian bertambah. Di antara mereka banyak berasal dari Nusantara.
Kira-kira 19 tahun lamanya mubaligh tersebut mengajar di Tanah Suci. Pada 1661, dia memutuskan kembali ke Aceh. Tujuannya, ikut mengembangkan dakwah dan pendidikan Islam.
Menurut Putuhena, Syekh Abdur Rauf terbilang istimewa karena mendalami baik ilmu syariat maupun tarekat. Lantaran taraf keilmuannya yang tinggi, kalangan istana Aceh menetapkannya sebagai mufti kesultanan.
Untuk diketahui, Aceh saat itu mengalami masa keemasan. Penguasanya mendukung penuh dakwah dan perkembangan peradaban Islam. Dalam kaitan itu, Mir’at al-Tullab fi Tashil Ma’rifat Ahkam asy-Syar’iyyah li al-Malik al-Wahhab (Cermin bagi mereka yang menuntut ilmu untuk memudahkan dalam mengenal hukum-hukum syariat Allah) ditulis. Itulah karya Syekh Abdur Rauf as-Singkili yang dibuat atas permintaan putri Sultan Iskandar Muda, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah (1612-1675).
Baca juga:
- Syekh Abdur Rauf as-Singkili, Guru Ulama-ulama Nusantara (1)
- Syekh Abdur Rauf as-Singkili, Guru Ulama-ulama Nusantara (3)