REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lebih lanjut, seperti tergambar dalam buku autobiografi Malcolm X: Autobiography as Told to Alex Haley, Malcolm X ingin agar Amerika Serikat (AS) belajar banyak hal dari Islam.
Menurutnya, Amerika sudah sepantasnya memahami agama ini dari dekat. “… Karena Islam adalah satu-satunya agama yang menghapus segala masalah rasial dari semua masyarakat. Anda boleh jadi terkejut mendengar kata-kata ini keluar dari mulut saya. Tetapi, dari ibadah haji ini, apa yang saya lihat, saya alami, telah membuat saya mengubah pola-pola pikir yang sebelumnya saya yakini,” ujar dia.
Sejak naik haji, tokoh pejuang HAM dan anti-rasis itu mengalami banyak perubahan. Misalnya, dari caranya melihat orang-orang elite kulit putih.
Di Tanah Suci, dia merasa terpukau. Malcolm menjumpai banyak orang kulit putih yang ramah terhadapnya. Orang-orang itu memandangnya sebagai sesama manusia.
Muncul kesadaran yang teguh dalam diri Malcolm, bahwa Allah menciptakan perbedaan rasial semata-mata agar manusia saling mengenal. Dia pun membacanya di dalam Alquran. Dia lantas menyimpulkan adanya kesadaran ini juga dari dialognya dengan para tokoh negara-negara Afrika.
“Menyimak (pemikiran) para pemimpin seperti Nasser, Ben Bella, dan Nkrumah telah menyadarkan saya tentang bahaya rasisme. Saya akhirnya menyadari, rasisme tidak hanya soal hitam dan putih. Ini lebih sebagai pemicu pertumpahan darah di tiap bangsa di muka bumi,” ujarnya dalam suatu wawancara dengan jurnalis kulit hitam AS, Gordon Parks.
Setelah Berhaji
Usai menjadi seorang haji, Malcolm X merasa ancaman kian dekat padanya. Kepada Gordon Parks dia mengungkapkan, justru orang-orang dari Nation of Islam (NOI) kini mengintimidasinya. Kekhawatirannya lalu terbukti benar.
Pada 21 Februari 1965, Malcolm X sedang bersiap-siap menyampaikan ceramah di Audubon Ballroom, Manhattan. Tiba-tiba, sekitar 400 orang di antara para hadirin mendatanginya sambil berteriak-teriak. Seseorang dari mereka berseru, “Hai Hitam! Angkat tanganmu dari sakuku!” Meskipun dengan penjagaan ketat, Malcolm X tidak dapat menghindar dari serangan mereka.
Seorang pria bersenjata api menembak tepat pada dadanya. Kemudian, dua orang lainnya juga menembakkan senapan semi-otomatis. Sore harinya, kabar mencuat bahwa Malcolm X telah wafat saat dirawat di RS Columbia Presbyterian.
Belakangan, terkuak bahwa si pembunuh itu bernama Talmadge Hayer alias Thomas Hagan. Adapun dua orang yang ikut memicu senjata adalah Norman 3X Butler dan Thomas 15X Johnson. Ketiganya merupakan aktivis NOI. Pengadilan menjatuhkan kepada mereka hukuman penjara seumur hidup pada 1966.
Akhir Hayat
Pemakaman Malcolm X dihadiri puluhan ribu orang pelayat. Jumlah ini lebih banyak lagi ketika jasadnya hendak dikebumikan pada 27 Februari 1965. Beberapa stasiun televisi lokal meliput secara langsung acara duka ini. Sejumlah aktivis hak-hak sipil AS turut hadir melepas kepergian Malcolm X.
Memori masyarakat AS terhadap Malcolm X terus terjaga. Buku Malcolm X: Autobiography as Told to Alex Haley sampai sekarang menjadi bacaan wajib bagi siapapun yang mempelajari isu rasisme di Negeri Paman Sam.
Kehidupan sang pejuang juga pernah diangkat ke layar lebar melalui film “Malcolm X” besutan sutradara Spike Lee tahun 1992. Dalam karya tersebut, aktor kawakan Danzel Washington berperan sebagai Malcolm X.
Selain di ranah budaya populer, nama suami dari Betty Shabazz ini juga diabadikan sebagai nama masjid, Malcolm Shabazz, di Harlem. Rumah pertama keluarga Malcolm X di 3448 Pinkney Street, North Omaha, Nebraska, sejak 1984 termasuk ke dalam daftar cagar budaya yang dilindungi undang-undang AS. Di kota New York, nama ayah enam anak ini juga dijadikan nama jalan raya.