Rabu 13 Feb 2019 21:02 WIB

Bagaimana Islam Memandang Sihir? (6)

Mereka jauh dari Tauhid dan cenderung percaya dewa-dewi

(ilustrasi) api di tengah gelap
Foto: tangkapan layar thouth.co
(ilustrasi) api di tengah gelap

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada tulisan terdahulu, dijabarkan tentang sihir dengan mengutip keterangan dari para pakar tafsir Alquran. Kini, sedikit uraian tentang sihir dalam perspektif kesejarahan sosial.

Sejak lima ribu tahun sebelum Masehi (SM), masyarakat yang mendiami dataran rendah sekitar sungai Eufrat dan Tigris sudah memiliki tata kebudayaan yang cukup maju. Di samping pemimpin, mereka juga diatur kaum pendeta. Dari para perapal doa-doa itulah legitimasi kekuasaan diteguhkan.

Baca Juga

Banyak kuil dan menara peribadatan berdiri untuk menyembah dewa-dewi. Demikianlah, masyarakat paganisme yang masih jauh dari Tauhid. Pada malam-malam sakral, beberapa anggota masyarakat kuno itu mengadakan ritual.

Mereka menyembah antara lain Hea selaku dewa bumi dan Ana dewa langit. Saat itulah mereka menjalankan gerakan-gerakan sihir (conjuration), termasuk membakar dupa, merapal mantra-mantra, atau bernyanyi hingga berteriak bersama.

Karena dianggap menyediakan ritual penyucian, para penyihir dipandang masyarakat itu sebagai pelindung. Mereka dipercaya mampu menunjukkan cara-cara yang dengannya masyarakat terhindar dari amarah para dewa. Mereka meyakini takhayul bahwa roh jahat yang yang bersemayam dalam diri manusia maupun yang berkeliaran di alam dapat menjauh bila menerima pertolongan penyihir.

 

Kala Penyihir dan Penguasa Lalim Bersatu

Akan tetapi, pemaknaan yang sebatas ritual-ritual itu dapat terjerumus ke dalam ekses. Sebagaimana diulas Eusebe de Salverte dalam esainya tentang sains supranatural (occult sciences), para penyihir kemudian berkongsi dengan para penguasa yang lalim.

Mereka merasa berjasa sebagai pemberi legitimasi bagi kokohnya kekuasaan atas rakyat. Bahkan, mereka mengklaim berada di atas hukum karena kedekatannya dengan penguasa.

Apa pun kata-kata yang keluar dari lisan mereka, dianggap orang-orang sebagai titah para dewa. Praktik-praktik sihir kemudian meluas. Tidak hanya di lingkup ritual.

Sihir juga menyasar orang-orang yang kebetulan tidak disukai rezim penguasa. Ketika sudah begitu, sihir pada zaman kuno itu tidak jauh berbeda daripada praktik-praktik perdukunan jahat yang kabarnya masih beredar di zaman modern. Sebut saja, teluh, santet, atau pesugihan.

Seligmann menulis, “Beberapa tukang sihir percaya bahwa mereka punya pandangan mata iblis. Dengan itu, mereka bisa membunuh hanya dengan menatap tajam ke korbannya. Mereka juga membuat gambaran (boneka) yang kemudian mereka bakar atau tusuk-tusuk, tergantung bagaimana mereka mau menyakiti korbannya.”

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement