REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Namanya Aysha. Sebutan itu sudah menjadi identitasnya sejak bersyahadat beberapa waktu la lu. Wanita muda ini ber asal dari Hongaria, negeri minoritas Muslim. Berbagai agama tumbuh di sana dengan bebas. Sesekali dia mengenang masa kecilnya sebagai penganut Katholik. Setiap akhir pekan selalu menyempatkan diri mengunjungi gereja untuk sembahyang dan mengucapkan aneka pujian.
Namun, itu bukanlah jaminan keyakinan nya semakin mantap. Meski sering melaksanakan ritual religius tersebut, tetap ada saja rasa yang mengganjal. Ada saja pertanyaan tentang kejelasan konsep Tuhan yang selama ini diyakini. Bagaimana bisa Tuhan memiliki anak? Soal itu sering tebersit dalam hatinya.
Sementara itu, Aysha mempelajari sejarah dunia sejak kecil. Salah satu materinya adalah Turki Usmani, dinasti Islam yang pernah mewarnai kehidupan Hongaria selama 150 tahun. Dari situ dia mendapatkan gambaran mengenai peradaban Islam yang sangat berpengaruh.
Namun, di sisi lain, dia juga 'diracuni' dan disesatkan dengan berbagai fitnah dan penghakiman bahwa Islam adalah agama yang buruk. Pada saat kecil dia belum berpikir kritis. Namun, ketika beranjak dewasa duduk di perguruan tinggi, berbagai literatur mulai dibedahnya.
Pandangan tokoh yang memandang Islam secara objektif menyegarkan pemahamannya tentang peradaban tersebut. Aysha mulai memahami bahwa peradaban Islam tak hanya lahir dari kreativitas manusia, tapi juga cahaya Ilahi.
Sementara itu, pergaulannya makin luas. Dia berteman dengan banyak orang de ngan latar belakang keagamaan beragam. Di antaranya adalah mereka yang beragama Islam. Suatu ketika Aysha dan para sobat Muslim bertatap muka. Perbincangan mengalir di antara mereka tentang banyak hal.