Selasa 05 Feb 2019 09:22 WIB

Soal Pusat Halal, Ini Lima Catatan IHW untuk Kemenag

Keberadaan BPJPH sampai saat ini masih menimbulkan tanda tanya besar.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Agus Yulianto
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah didampingi para pejabat terkait memberikan paparannya ke kantor Harian Republika, Jakarta, Jumat (19/10).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah didampingi para pejabat terkait memberikan paparannya ke kantor Harian Republika, Jakarta, Jumat (19/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah mengapresiasi gagasan Kementerian Agama (Kemenag) membangun Pusat Halal. Pusat halal itu dibangun untuk mendorong Badan Penyelenggara Jaminan Prodak Halal (BPJPH) segera berfungsi memenjadi BPJPH di Indonesia.

Menurut Ikhsan Abdullah, ada lima catatan yang masih perlu dikritisi. Karena keberadaan BPJPH sampai saat ini masih menimbulkan tanda tanya besar the question mark big terkait dibangunya pusat layanan halal untuk beroprasinya BPJPH.

Pertama, keberadaan BPJPH dari aspek yuridis ini sangat kritikal, karena mestinya ini diluncurkan setelah Peraturan Pelaksana UUJPH telah diterbitkan. Sehingga, dibentuknya BPJPH jelas landasan operasionalnya. 

"Kalau seperti sekarang apa yang menjadi dasar operasional BPJPH? UU No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal benar menyebutkan, akan tetapi dalam ketentuan tersebut sangat jelas disebutkan, bahwa keberadaan BPJPH akan diatur melalui Peraturan Pelaksana," kata Ikhsan, kepada Republika.co.id, belum lama ini.

Kedua, untuk menjadi Badan Penyelenggara Sistem Jaminan Halal pasti memerlukan anggaran yang cukup. Di antaranya untuk sosialisasi UUJPH, Edukasi, pembentukan LPH, mencetak Auditor Halal, membangun System, standar operasional Badan dan perlengkapan lainnya.

"Itu semua perlu budget yang sangat besar lalu darimana posting anggaranya? Sementara dalam system anggaran harus jelas mata anggaranya," katanya Ikhsan.

Ketiga, sampai saat ini masih ada dua Keputusan Menteri Agama (KMA) yang diberikan kepada MUI sebagai dasar penyelenggaraan dan MUI sekaligus sebagai Badan Sertifikasi Halal di Indonesia. Yang pertama adalah, Keputusan Kemenag No 518 tahun 2015 tentang Pedoman dan Tatacara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal dilakukan oleh MUI melalui LPPOM. Dan kedua Keputusan Menag No 519 tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal sebagai  landasan hukum kepada MUI untuk melaksanakan kewenanganya sebagai Lembaga Sertifikasi Halal.

"Yang pelaksanaanya dilakukan melalui LPPOM MUI. Kedua Keputusan Menteri Agama tersebut sampai hari ini masih berlaku karena belum pernah dicabut," katanya.

Sementara, PP UU Jaminan Halal belum diterbitkan, maka ketika kedua Keputusan Menag itu belum dicabut, LPPOM MUI masih terus akan menjadi Lembaga Pemeriksa Halal dan Badan Sertifikasi Halal di Indonesia. 

Catatan keempat, BPJPH tidak akan dapat berfungsi sekalipun telah ada PP mengingat untuk menjadi Badan Sertifikasi Produk Halal, BPJPH harus dapat melahirkan Lembaga Pemeriksa Halal. Sehingga, keberadaan LPH, harus diakreditasi oleh BPJPH bersama MUI.

"Nah di sinilah permasalahanya  muncul. Bahwa syarat untuk menjadi LPH wajib memiliki auditor halal minimal tiga orang auditor halal. Sementara auditor halal itu wajib disertifikasi oleh MUI. Inilah problemnya sampai hari ini sudah masuk tahun ke dua usia BPJPH belum mampu melahirkan satu pun auditor halal yang mendapatkan sertifikasi dari MUI," katanya.

Dan catatn kelima yang juga mesti dikritisi adalah mengenai sistem pendaftaran, standar halal dan tarif, yang sampai hari ini belum siap sehingga amat sulit BPJPH akan dapat berfungsi pada oktober tahun ini. "Belum lagi kerja sama dengan MUI mengenai pemberian fatwa atas produk halal yang sampai saat ini masih belum dilakukan dalam bentuk perjanjian kerjasama ini satu hal yang sangat problem dan ini seharusnya menjadi agenda utama," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement