REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kita, orang Indonesia, gemar berkumpul dengan sesama. Mengobrol adalah bagian tak terpisahkan dari keseharian. Apalagi, ada pelengkap, semisal, kudapan dan kopi. Nongkrong, begitu mungkin kita menyebutnya. Duduk-duduk santai, membicarakan banyak hal, amat banyak hal.
Semua orang menjadi pengamat yang tak dibatasi gelar akademik. Ia bebas mengomentari apa pun, termasuk dirinya sendiri. Tahukah kawan, duduk-duduk bukan hanya soal menikmati hari sembari menghabiskan waktu, bahkan dalam duduk-duduk harus ada kebaikan yang lahir. Dari nongkrong, mestilah tercetus kebajikan. Dalam nongkrong, ada dakwah.
Dari Abu Sa'id al-Khudriy RA bahwasanya Nabi SAW bersabda, "Janganlah kalian duduk-duduk di (pinggir-pinggir) jalan!" Lalu, mereka berkata, "Wahai Rasulullah! Kami tidak punya (pilihan) tempat duduk-duduk untuk berbicara (di sana)."
Beliau bersabda, "Bila tidak bisa kalian hindari selain harus duduk-duduk (di situ) maka berilah jalan tersebut haknya!" Mereka berkata, "Apa hak jalan itu, wahai Rasulullah?" beliau bersabda, "Memicingkan pandangan, mencegah (adanya) gangguan, menjawab salam, serta mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran." (HR Muttafaqun 'alaihi).
Syekh Nashir asy-Syimaliy menerangkan tentang kaidah indah hadis di atas. Islam sejatinya membawa etika dalam ajarannya. Di dalamnya terdapat pelajaran besar meskipun terkesan membahas hal yang amat remeh, duduk-duduk.
Kaidah pertama, usahakan agar jalan tidak digunakan untuk duduk-duduk. Jalan harusnya difungsikan sebagaimana keperluannya, sebagai sarana orang untuk berlalu lalang. Kita diajarkan untuk menempatkan hak sesuai tempatnya, tidak menggunakan fasilitas umum untuk hal-hal yang merugikan kepentingan umum sendiri. Ini kaidah dasarnya.