Rabu 23 Jan 2019 18:38 WIB

Menjadi Warga Inggris dan Muslim

Umat Islam meningkatkan edukasi guna menunjukan identitas.

Muslim Inggris
Foto: AP
Muslim Inggris

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Saat ini, perjuangan berat sedang dijalani umat Islam di Inggris. Sejumlah pihak menaruh kecurigaan terhadap pemeluk agama Islam. Apalagi, teror-teror yang dilakukan oknum tertentu telah membuat buruk citra Islam di dunia, termasuk Eropa.

Wanita Muslim berjilbab masih dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan. Begitu juga dengan kegiatan-kegiatan keagamaan yang diduga sebagai sebuah strategi untuk kegiatan terorisme. Tuduhan-tuduhan ini membuat umat Islam menjadi objek yang dipersalahkan.

Laporan Islamic Human Rights Commission (IHRC) menyebutkan, Muslim Inggris masih menghadapi aneka problem, antara lain dalam hal interaksi sosial, pendidikan, dan lapangan pekerjaan. Dalam soal mencari kerja formal, Muslim Inggris masih didiskriminasi.

Ada anekdot yang menyebut, jika ingin bekerja kantoran, tinggalkan nama Ahmad, Muhammad, atau Ali dan beralihlah menjadi Edward, Abraham, atau William. Itu berarti, tak beruntung secara ekonomi dan tak bisa meraih pendidikan yang lebih tinggi.

Beberapa waktu lalu, Republika.co.id pernah melakukan wawancara dengan Khadidjah Zaidi, manajer Fundraising Muslim Youth, dan Haras Rafiq, direktur eksekutif Sufi Muslim Council, saat keduanya bersama beberapa delegasi Muslim Inggris melakukan kunjungan ke Indonesia, Maret 2008 lalu.

Haras menyatakan, upaya yang dilakukan Muslim di Inggris saat ini adalah dengan meningkatkan edukasi untuk menunjukkan identitas diri sebagai seorang Muslim. ''Inilah tantangan kami. Akan menjadi hal yang luar biasa bagi kami untuk memainkan peran secara integral untuk menjadi bagian dari sebuah komunitas dan masyarakat luas, yakni sebagai seorang warga Inggris dan Muslim,'' ujarnya.

Khadijah Zaidi menambahkan, masalah identitas ini secara politik menjadi salah satu kunci mengatasi tantangan dan berhubungan dengan masyarakat luas.

Hal yang sama juga diungkapkan Menteri Pembangunan Internasional Inggris, Shahid Malik.

Ia adalah Muslim pertama yang duduk di pemerintahan. Malik menyatakan, tantangan terbesar yang dihadapi Umat Islam Inggris adalah meyakinkan orang-orang bahwa setelah 11 tahun (di bawah pemerintahan PM Tony Blair--Red) ada proses dan perubahan yang fenomenal, baik di bidang kesehatan, kesejahteraan, maupun pendidikan.

Malik mencontohkan soal upah buruh. Sebelum pemerintahan Partai Buruh berkuasa, katanya, majikan dapat menetapkan upah per jam 5 pence, dan itu sah. Namun, kemudian standar minimum ditetapkan menjadi 5,30 pound per jam.

Malik juga akan berusaha untuk mengegolkan sebuah undang-undang antidiskriminasi, yaitu persamaan hak bagi setiap warga negara, termasuk umat Islam untuk bekerja di lingkungan masyarakat.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement