Rabu 16 Jan 2019 23:21 WIB

Takaran Belanja yang Berlebihan, Seperti Apa?

Pada dasarnya uang yang dimiliki bukanlah kepunyaan pribadi secara mutlak.

Perempuan belanja. Ilustrasi
Foto: Dailymail
Perempuan belanja. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Berbelanja ( shopping) adalah aktivitas yang ditunggutunggu oleh kebanyakan orang, terutama kaum Hawa. Kala berbelanja, tak sedikit rupiah yang digelontorkan untuk membeli barang yang diinginkan. Tak jarang, hingga menghabiskan dana dan menimbulkan kesan berlebih-lebihan.

Akibat ‘virus’ berbelanja yang kelewat batas, tak sedikit dari mereka yang terpaksa terlilit utang kartu kredit. Bagaimana Islam memandang hukum berbelanja dengan gambaran kasus di atas, alias berlebih-lebihan dalam berbelanja? Bolehkah Muslimah membelanjakan hartanya sedemikian rupa?

Syekh Yusuf Al Qaradhawi, dalam laman resminya menyebutkan sikap ‘rakus’ berbelanja menghabiskan uang, sangat dikecam dalam Islam. Hukumnya pun haram dilakukan. Mes ki pun uang tersebut adalah hasil jerih payahnya sendiri. Konsep kepemilikan harta yang berlaku dalam Islam, pada dasarnya uang yang dimiliki bukanlah kepunyaan pribadi secara mutlak.

Harta itu hanya dititipkan kepada yang bersangkutan. Ada hak orang lain di sebagian harta itu. Karena itu, ada hukum pemblokiran dana bagi mereka yang belum dapat mengelola keuangan. “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” (QS An Nisaa’ [4] : 5).

Qaradhawi yang menjabat ketua Perhimpunan Ulama se-Dunia itu me ngatakan bukan berarti Islam mela rang berbelanja. Tetapi, yang ditekan kan ialah pentingnya prinsip keseimbangan. Artinya, berbelanja boleh-bo leh saja, tetapi tetap tidak menghambur- hamburkan uang. Di sisi lain, ke seimbangan itu juga melarang sikap ter lalu irit hingga menyulitkan diri sendiri.

Apakah takaran belanja yang berlebihan? Menurut Qaradhawi yang memperoleh gelar doktor di Univer sitas Al Azhar, Kairo, Mesir, itu ukuran nya ialah pengalokasian dana untuk membeli barang yang terlampau me wah dan kurang dari segi peruntuk kannya. Misalnya saja berbelanja wa dah atau aksesori berbahan dasar emas, perak, intan, dan permata hanya untuk keperluan perabotan rumah.

Qaradhawi pun lantas mengutip pendapat para bijak yang mengatakan keutamaan itu akan melimpah berada di antara sikap berlebih-lebihan dan kikir. Belanja berlebihan termasuk kate gori tabzir yang dilarang .Sedangkan terlalu mengirit adalah kikir. Tidak ter lalu boros dan tidak pula irit adalah keutamaan.

Inilah bedanya Islam dengan dua agama sebelumnya. Risalah Yahudi menitikberatkan pada kekakuan dan kekasaran hidup. Sedangkan Nas rani terlampau memberikan kelonggaran. Ajaran Islam berada di tengah-tengah. Syekh Thahir bin Asyur mencoba mengungkapkan dampak dari sikap boros berbelanja. Menurut dia, selain tindakan itu tidak disukai oleh Allah SWT, berlebihan saat berbelanja bisa mendorong seseorang mendapakan rezeki dengan cara apa pun, termasuk menempuh jalan haram.

Mengapa demikian? Karena menurutnya, orang yang boros akan susah hidupnya. Dana yang ia miliki tidak akan pernah cukup. Ia pun tak segan untuk menggali lubang berutang sanasini. Maka itu, solusi jangka pendek baginya tak lain ialah memperoleh uang dengan cepat dan jalan pintas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement