REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suara azan zhuhur berkumandang dari pengeras suara Masjid Al Muqarrabien yang berada di Jalan Enggano, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Kaum Muslim pun segera merapat ke masjid tersebut melaksanakan shalat zhuhur berjamaah.
Tepat di sebelah masjid berdiri Gereja GMIST Mahanaim. Gereja ini dibangun sejak 1957. Setahun setelahnya, pada 1958 barulah Masjid Al Muqarrabien dibangun. Meski tidak langsung seperti sekarang dengan bangunan permanen, sejak awal lokasi masjid memang bersebelahan dengan gereja.
Bahkan dinding masjid dan gereja pun saling menempel satu sama lain. Bukan hanya setahun dua tahun, masjid dan gereja itu telah berdiri kukuh selama lebih dari 60 tahun.
Selama itu pula, toleransi beragama terhadap umat Kristen dan Muslim tetap terjaga hingga kini. Kedua rumah ibadah itu berdiri sampai terus berganti kepengurusan.
Masjid dan gereja pun hanya dipisahkan sebuah dinding dengan tinggi sekitar 3,5 meter. Menurut imam di Masjid Al Muqarrabien, Ustaz Endang Gunaraharja, meski dipisahkan dengan satu tembok, keberlangsungan shalat di masjid tetap lancar.
"Kalau di gereja ada ibadah pas lagi waktu shalat, kita biasa saja shalat. Ibadah di gereja nggak mengganggu, nggak sampai kedengaran sampai masjid," ujar laki-laki berusia 56 tahun itu kepada Republika.co.id usai mengimami shalat zhuhur, Rabu (9/1).
Endang mengatakan, sudah kewajiban manusia saling menghormati dan menghargai sesama. Sebab, manusia diciptakan dengan latar belakang yang berbeda termasuk keyakinan.
Ia mengungkapkan, selama ini tidak pernah ada perselisihan. Justru apabila ada ibadah atau hari raya besar umat Kristen seperti Natal, halaman masjid pun dapat digunakan sebagai tempat parkir jemaat gereja. Pengurus masjid dan warga juga akan mengamankan kelangsungan ibadah.
Begitu pula sebaliknya, gereja akan meniadakan atau memundurkan jadwal ibadah apabila berbarengan dengan shalat Idul Fitri atau Idul Adha. "Selama ini ya baik-baik saja, kami saling menjaga, menghormati, bertoleransi, karena sama-sama beribadah juga," kata Endang.
Senada dengan Endang, Pendeta Abritha Indriati Lanyemona Salenda dari Gereja Protestan Mahanaim mengatakan, toleransi antara umat beragama sudah ditanamkan sejak gereja dan masjid itu pertama kali berdiri. Kemudian, hal tersebut diturunkan kepada generasi selanjutnya baik pengurus gereja maupun jemaat.
"Berarti sudah puluhan tahun kami hidup berdampingan dengan umat agama lain. Dari pengurus gereja terdahulu sampai sekarang, juga kepada jemaat agar selalu saling menghormati dan bertoleransi," kata pendeta Abritha.
Ia mengatakan, ketika bulan Ramadhan saat buka puasa bersama, pengelola gereja juga ikut memberikan takjil kepada jamaah masjid. Pengelola masjid dan warga di sekitar gereja juga berbagi daging kurban dengan pengurus gereja saat Idul Adha.
Menurut pendeta Abritha, gereja selalu mengimbau agar jemaat selalu mengutamakan kasih sehingga toleransi beragama akan selalu tercipta dan kehidupan umat beragama akan selalu harmonis. Menurutnya, tidak ada jemaat gereja yang mengeluh terhadap kegiatan ibadah agama lainnya. Hal itu juga berlaku sebaliknya, ia tidak pernah mendengar agama lain pun mengeluh mengenai ibadah yang dilaksanakan di gereja.
"Kami tahu setiap agama pasti mengajarkan agar selalu saling mengasihi sesama. Kami menghormati hak-hak orang lain untuk beragama dan beribadah," kata dia.
Salah satu pemilik warung makan yang berdekatan dengan masjid dan gereja, Asiyah (65 tahun) mengatakan, selama ini jemaat dan jamaah dari masing-masing rumah ibadah hidup rukun. Jamaah masjid dan jemaat gereja tetap beribadah dengan lancar.
"Sudah lebih dari 50 tahun nggak ada konflik apa-apa, di sini ada puasa mereka memberikan takjil, kalau malam takbir mereka memberikan hadiah mukena. Kalau mereka Natal, mereka juga bisa parkir di halaman masjid," ujar Asiyah.