REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi orang Arab zaman dulu, duduk-duduk di kursi kayu tidak praktis. Mereka lebih suka duduk bersila di atas karpet sambil bersenderan pada bantal. Para bangsawan Arab pun melakukan hal yang sama, seperti praktik rakyat jelata di masa itu.
Kursi kayu adalah hal di luar jang kauan saat itu. Furnitur lain dari kayu pun tidak populer. Alasan utama adalah kayunya. Komoditas itu sangat langka dan mahal di kawasan kekuasaan Islam.
Maklum, wilayah kering padang pasir di Timur Tengah dan Afrika Utara serta padang-padang rumput Asia Tengah bukanlah tempat yang cocok untuk mendapatkan kayu, tak seperti di kawasan Eropa yang lebih subur.
Karena itu, kayu hanya dipakai untuk keperluan yang sangat penting, seperti membuat kapal, bahan bangunan penopang atap, pintu, dan daun jendela. Saking mahalnya, kayu tua digunakan secara berulang-ulang untuk membangun rumah yang lebih baru.
Menurut Jonathan M Bloom dalam artikelnya di Majalah Saudi Aramco berjudul “The Masterpiece Mimbar” edisi Mei/Juni 1998, langkanya kayu di Dunia Islam terutama dimulai setelah kaum Muslim merebut kembali Acre (kini di Israel) dari tangan pasukan Salib pada 1291.
Sebagai gantinya, Paus Nicholas IV melarang kaum Nasrani Eropa untuk menjual kayu kepada Muslim untuk mencegah agar Muslim tak membangun armada kapal perang yang besar. Perang kayu ini berlanjut selama periode yang lama setelah itu.
Karena itulah, kayu akhirnya diperlakukan dengan sangat mulia oleh para seniman dan pengrajin Muslim kala itu. Semua bagiannya dimaksimalkan, bah kan bagian-bagian kecil kayu, untuk men dapatkan nilai artistik tertinggi.
Mungkin karena begitu berharganya kayu, bahan ini pun dipilih untuk pembuatan mimbar, kursi tinggi khusus untuk para juru dakwah berpidato di dalam masjid.